"Saat bergabung  dengan klub, saya masih sekolah. Kemudian ikut seleksi Timnas dan lolos buat memperkuat Indonesia," ujar gadis yang kini berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai Polwan, seperti kutipan wawancaranya dengan Kompas.Com
Mereka mesti "berdamai" dengan keringat, lintasan dan arena manakala teman-teman nya nongkrong -nongkrong di mall, atau ngopi-ngopi cantik di cafe. Begitu juga ngegibah atau gosipin selebriti, jarang sekali atlet melakukan itu apalagi menjelang kompetisi.Â
Perjuangan serupa dengan Amalia, juga dikisahkan seorang Ibu tetangga kompleks tempat saya tinggal, yang dulunya mantan atlet silat PON, Dia juga  pernah mengikuti SEA Games. Sebut saja namanya Mama Nita.Â
Wanita berhijab itu, yang kini berusia 40 an tahun, menceritakan bagaimana dari sejak usia anak-anak hingga dua puluhan, hidupnya hanya berputar pada 2 siklus : latihan-bertanding-latihan-bertanding.Â
Bulan ini di NTB, bulan depan di Pulau Kalimantan, bulan berikutnya di  Pulau Sumatra. Tahun ini di Jakarta, tahun -tahun berikutnya bisa di negara lain.Â
4. Pada wanita, bisa telat menikah atau sudah menikah tapi menunda kehamilan.Â
Ini hal yang secara kodrat mesti diterima. Tubuh wanita akan berubah, setelah punya anak. Itu belum ditambah konsentrasi dan fokusnya akan berubah setelah berkeluarga, tak leluasa lagi seperti waktu masih single.Â
Tentu ini akan berdampak bila dia sebelumnya adalah seorang atlet, apapun itu olahraganya. Sedikit berbeda pada pria, yang meski sudah menikah, atau mungkin sudah ada momongan, secara fisik ngga banyak berubah dengan semasih bujang.Â
Justru malah bisa meningkat performanya karena tuntutan kebutuhan dan keinginan mewariskan prestasi dan kenangan pada pasangan dan buah hati.Apalagi bila usianya masih di bawah 32 tahun.Â
5. Tak semua atlet, selalu menang kala berkompetisi.
Ini adalah realita, sama seperti bila memilih kerja kantoran dengan target. Ada yang melebihi target, ada yang hanya sekian persen pencapaiannya, bahkan ada yang tak sampai pada target minimal.