Just Sharing...
Pengen tidur namun mata enggan menutup. Gara-gara sebuah berita yang bikin geleng-geleng kepala. Antara Jakarta dan Ternate seorang suami duduk manis di kabin pesawat Citilink dengan menyamar menggunakan cadar.Â
Auto saya browsing di salah satu situs penjualan tiket terkait berapa lama sih mengudara. Ngetes pake tanggal 22 Juli 2021.Â
Ternyata jarak tempuh langsung tanpa transit dari Bandara Halim ke Bandara Babullah kurang lebih 5 jam an. Harga tiket dibanderol 1 juta lima ratusan.Â
Lantas mengapa dia menyamar? Karena hasil swab tes nya positif, sehingga dia menggunakan milik istrinya yang hasilnya negatif. Agar seirama dan selaras, demi mengelabui petugas dan pegawai Citilink, datanglah ke Bandara dengan mengenakan busana bercadar.Â
Tahap pertama, eksekusi berjalan sempurna. Buktinya bisa masuk dalam pesawat hingga turun di Ternate. Tahap kedua,ketiban sial.Â
Ketika pesawat mendarat, dia bergegas berganti dengan busana pria di toilet pesawat. Kedoknya diketahui oleh salah seorang awak kabin dan kemudian melaporkan.Â
Ujung dari penyamaran adalah penumpang"banci" dalam tanda petik ini, diminta untuk tes PCR lagi. Hasilnya positif lalu sesuai protokol kesehatan, dijemput ambulans dengan petugas APD lengkap. Diminta untuk isolasi mandiri.Â
Apa yang terlintas di pikiran kala membaca kisah bak detektif menyamar ini? Pikiran saya auto ibarat makan gado-gado. Beraneka muncul
1. Busana ngga selaras sama perbuatan.Â
Make cadar yang dibuat dengan nilai dan tujuan yang ilahi, namun niatnya untuk menipu.Apa ngga dosa dua kali ya. Ngga habis mikir. Demi niat mau terbang, kenapa mesti berbohong.Â
Daripada bercadar kenapa ngga sekalian kebayaan aja Pak. Jangan lupa wig nya sama dadanya disumpal. Kasian cadar malah jadi sorotan.Â
2. Kok bisa lolos dari pemeriksaan?Â
Saya pernah beberapa kali landing di Bandara Halim dari Lombok dan dari Bali. Â Terus terang saya suka. Salah satunya ngga ribet kayak di Soeta dan ngga ramai. Tapi saya belum pernah terbang dari Halim.Â
Namun dalam pemahaman saya yang orang daerah, kayaknya atmosfir kedatangan penumpang dan keberangkatan penumpang, ngga beda beda jauh. Maksudnya pemeriksaan dan pengawasan kayaknya ngga seketat di Soeta.Â
Bisa jadi, ini sudah dipelajari oleh si pelaku sehingga lebih memilih naik Citilink dari Halim dibanding naik dari Bandara Soeta. Paling tidak, sudah menganalisa peluang lolos.Â
3. Pelaku penumpang ini  bisa saja "kongkalingkong" dengan orang dalam.Â
Dugaan kemungkinan kesana sehingga bisa sampai duduk manis di dalam kabin. Orang dalam bisa saja di internal Citilink atau di pihak Bandara Halim. Apalagi dari pengalaman, biasanya pada saat pemeriksaan badan di X Ray, penumpang pria akan di raba atau di cek sebentar oleh petugas.Â
Bukankah hal yang sama juga dilakukan pada penumpang wanita oleh petugas wanita? Apa ngga terindikasi waktu cek badan oleh tangan, atau dilewati begitu saja.Â
Analisa lain, apa karena di masa pandemi lalu lintas penumpang tak banyak dan bandara sepi, sehingga prosedur pemeriksaan tak seakurat kala penumpang ramai ya. Dalam arti, ngga ada cek body. Cuma cek mesin X Ray aja kali.Â
Atau bisa saja dibayar sejumlah uang demi lolos...Ini mah praduga aja...hehe.Â
4. Pihak keluarga sudah tau salah tapi kok dibiarkan ya
Ini juga bikin ketawa, tapi ketawa miris. Kok ada warga kita di tanah air, bisa segitunya membiarkan salah satu sanak saudara melakukan kebohongan berbahaya. Apa karena mereka melihat contoh lain yang sudah pernah dilakukan ya.Â
Lagi PPKM darurat, sudah tau jelas jelas aturan dan sanksinya, kok malah dibiarkan. Edan dasar orang Indonesia. Sudah tau aturan pemerintah, sudah tau lonjakan Covid sedang tinggi-tingginya, eh kok malah diterobos pake penipuan.Â
5. Carut marut lemahnya deteksi identitas penumpang di maskapai.Â
Masih ingatkah kita pada salah identitas sejumlah penumpang pada tragedi kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 menggunakan KTP orang lain. Apa ini jadi inspirasi si pelaku ya.Â
Ternyata bisa banget yang ngga jelas -jelas identitas, beda orang beda KTP hingga beda jenis kelamin beda hasil SWAB bisa duduk di kabin. Â
Kebayang andai pesawat ini celaka, apa ngga puyeng itu maskapai dan ngga malu itu keluarga, kalo ada wanita bercadar bernama NURUL yang ternyata adalah seorang pria. Hehe.Â
6. Menusuk pemerintah dari belakangÂ
Maaf kata, bila ada warga yang melakukan seperti ini, rasanya sama aja menusuk pemerintah dari belakang terkait kebijakan PPKM Darurat.Â
Sudah tau dan sadar sedang berlangsung apa di negaranya, dan pelarangan nya seperti apa, tapi malah meremehkan lewat penyamaran. Ibarat pemerintah dan aparat sedang menambal baju yang koyak, eh pelaku malah bikin koyakan kecil.
7. Transmisi Covid lintas manusia, lintas propinsi.Â
Parahnya Covid di Jakarta seperti apa, eh malah ada seseorang warga di DKI Jakarta malah membawa ke Ternate Maluku Utara.Â
Kebayang ngga, 5 jam di pesawat, itu penumpang pegang dan sandar di kursi, say hello dan sapa pada penumpang lain di dalam kabin hingga buka tutup toilet pesawat.Â
Kalo misinya aman selamat di Ternate, bisa hitung ngga berapa orang terpapar gara -gara penyamaran berhasil. Lalu asumsikan warga lain di Jakarta dan Pulau Jawa, yang parah-parah banget Covidnya, lalu melakukan cara yang sama.Â
Bisa -bisa satu Indonesia makin melonjak.Â
Tolong di selidiki yang kayak kayak gini, siapa tau sudah banyak pola dan modus yang serupa namun tak terdeteksi. Selain itu, yang kayak gini jangan di isoman aja, tapi diberi sanksi yang tegas agar tak terulang lagi oleh warga lain.Â
Salam,Â
Referensi :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H