Coretan tipis -tipis dari warung kopi...
Belum ada sebulan lalu, viral di kalangan Netizen, berita seorang bocah membelanjakan uang Papanya senilai 800 ribu untuk bermain games online.Â
Sang Papa lalu menyalahkan pihak minimarket dan pegawainya terkait logika dan kesadaran diri. Mengapa mau melayani permintaan anak sekecil itu dengan nominal rupiah sebesar itu.Â
Alih-alih mendapat simpati, malah orang tua si anak disalahkan mengapa tak mendidik dengan baik. Ujung cerita ditutup dengan permintaan maaf pihak orang tua dan menutup kasus tersebut.Â
Emangnya apa relevansi kisah ini dengan polemik King Of Lip Service oleh BEM UI yang akhirnya menyeret Sang Rektor dalam kisruh rangkap jabatan?Â
Hampir sama. Anak yang memakai aset orang tuanya secara tak terkontrol, dalam hal ini uang, demi keinginan dan hasratnya, Â namun tak berpikir dampak yang akan dialami oleh orang tuanya.Â
Nama besar UI adalah aset bagi civitas akademika di perguruan negeri (PT) Â ini. Termasuk bagi para alumninya.Â
Realitanya memang bila yang teriak mengkritik presiden itu adalah BEM dari salah satu PT lain di Jakarta, mungkin dampaknya ngga akan sebesar dan seluas PTN favorit ini.Â
Apalah arti Leon Alvinda Putra, sang bocil anak muda kemarin sore tanpa ada embel-embel UI yang menyertai status kemahasiswaannya sebagai ketua BEM.Â
Apalagi yang dikritik adalah atasan dan bos dari Bapak atau Ibu Menteri, yang mungkin seumuran orang tuanya, dan dulu nya para menteri kepercayaan Presiden ini kuliahnya di UI. Sebut saja diantaranya Ibu Sri Mulyani Menteri Keuangan.Â
Sindiran kepada Presiden Jokowi, lebih mengarah kepada kepemimpinan, Â bukan kepada kinerja tim di kabinet. Karena tim kepresidenan di isi oleh para pakar, yang dipilih sesuai kapasitas dan keahlian.Â
Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka punya andil dalam menentukan apakah pemimpin nya akan dihormati atau dilecehkan.
Ini lantaran kinerja kepemimpinan adalah akumulasi dari kinerja tim dan orang -orang di dalam tim itu.Â
Ketika seorang menteri di dalam kabinet terlibat korupsi dan skandal, suka tidak suka, mau tidak mau, oknum menteri tersebut akan menjatuhkan citra Presiden di mata masyarakat.Â
Contoh paling nyata adalah masa pemerintahan Pak SBY dengan kasus Hambalang, Wisma atlet dan lainnya.Â
Sejumlah menteri, yang nota bene diharapkan meningkatkan citra Presiden, malah mengoyak-ngoyak dan ditetapkan sebagai koruptor.Â
Tak ada pemimpin tanpa anak buah. Dan baik dan buruknya pemimpin ditentukan siapa anak buahnya. Karena pemimpin merepresentasikan lembaga, dan anak buah merepresentasikan pemimpinnya.Â
Lalu bagaimana dengan apa yang di "teriaki" BEM UI yang dampakanya menyeret Sang Rektor Ari Kuncoro"diadil" gara -gara rangkap Jabatan?
Tentu ada hal yang menarik dari kacamata seorang penikmat kopi kelas warkop pinggir jalan.Â
1. Kritik boleh, tapi jangan sampai senjata makan tuan.Â
Sudah banyak kejadian di negeri ini,bahkan jauh sebelum anak-anak muda yang namanya BEM-BEM ini lahir, bahwa yang melakukan kritik akan mendapatkan "perlawanan" dalam tanda petik.Â
Perlawanan bisa berasal dari mereka yang pro terhadap Presiden dan pemerintahan, atau mereka yang merasa terlalu lancang dan keras kritik tersebut. Hasilnya, adalah akan membagi netizen pada yang pro dan yang kontra.Â
Pendukung sesama pro akan bermunculan, ketika salah satu "teriak". Hasilnya terlihat ketika BEM UI memunculkan The King of LIp Service, sejumalah anak muda, mahasiswa bahkan warga lain, ikut memanasi.Â
Tapi jangan lupa, tak ada lawan yang mau menyerah ketika dia terjepit. Salah satu cara mengurangi atau melawan adalah menggunakan serangan tersebut dan membalikkan pada lawan.Â
Caption bernada sindiran di akun media sosial, berapa IP Presiden Jokowi jaman kuliah dulu, jelas -jelas menjadi senjata makan tuan.Â
Pertama karena tidak ada hubungan secara langsung antara IP tinggi dengan peluang dipilih jadi Kepala Negara di republik ini.Â
Karena proses dan tahapan menjadi seorang Presiden di sistem negara kita Indonesia, tak ditentukan IP (Indeks Prestasi).Â
Kedua, mahasiswa yang ngomong dan berpikir seperti itu, malah bisa ditembak langsung dengan pertanyaan : Loe sudah berapa kali ikut pemlilu?
 Lo ngerti kagak gimana proses jadi anggota DPR,jadi Bupati, jadi Gubernur hingga jadi Presiden di negara 62 ini?Â
Membuat narasi semacam ini sangatlah berbahaya. Ibarat senjata makan tuan, kecerdasan dan logika dipertaruhkan.Â
2. Bila bukan "anaknya" yang dihajar balik, bisa -bisa "bapaknya atau ibunya" di cari-cari salahnya.Â
Kita ngga bisa menampik, pola pertahanan dan perlawanan seseorang secara sosial manakala dibullly, dikritik dan disindir, mereka yang pro terhadap seseorang yang dirasa sebagai "korban" adalah mencari kesalahan penyindir.
 Ini adalah respon alami cara membalas serangan. Bisa diamati di media sosial atau di lingkungan nyata, seperti di lingkungan pekerjaan atau hidup bertetangga di masyarakat.Â
Di sebuah komplek perumahan, ketika seorang anak membully orang tua anak lain, respon si anak yang dibully adalah mencari kelemahan dan sisi negatif si pembully atau keluarga si pembully untuk dijadikan balasan.Â
Di lingkungan kerja, ketika kompetitor dengan produk yang sama menyuarakan kelemahan produk saingannya, respon dari perusahaan yang disasar bisa saja dengan mengunggah kekurangan lawan.Â
Apalagi bila itu secara legailitas dan perijinan bermasalah. Ibarat masakan, lebih enak lagi tu digoreng, dikukus, dibakar, diolah apa aja.Â
Masih ingat sekian bulan lalu, ketika Bu Susi hanya sekadar tweet,namun dianggap menyindir pemerintah dan mengusik yang lain?Â
Balasan beraneka datang, mulai dari soal latar belakang beliau, perusahaan beliau, bahkan mencari kelemahan untuk menjatuhkan.Â
Jadi pada beberapa hari ini, ketika kritikan  BEM UI mengarah ke Pak Presiden namun sudah ditanggapai dengan adem tenang khas Pak Jokowi, malah memunculkan masalah baru di tubuh UI sendiri.Â
Pak Rektor Ari Kuncoro, ditengarai rangkap Jabatan karena secara statuta di UI, seorang rektor atau wakil rektor tak boleh memegang jabatan di BUMN.Â
Dari profil Pak Ari Kuncoro di wikipedia, jelas beliau  adalah Komisaris Utama di Bank BNI sejak awal November 2017 dan Wakil Komisaris Utama di Bank BRI dari Februari 2020. Beliau sendiri menjabat Rektor UI pada September 2019.Â
Pelanggaran terhadap soal rangkap jabatan oleh orang nomor 1 di Universitas Indonesia bisa dikatakan sebagai balasan senjata makan tuan untuk meredam teriakan BEM UI Â dan pihak UI sendiri.
Ibarat bila anaknya ngga bisa dijatuhkan, coba sasar Bapak nya atau Ibunya. Nama besar UI bisa dikatakan sebagai aset bagi seluruh civitas akademika, yang membuat terlihat unggul, diakui dan punya pengaruh besar.
Namun manakala tak hati-hati, bisa -bisa malah mencoreng. Di satu sisi bisa memperoleh simpati, namun di sisi lain bisa saja menuai bencana.Â
Mirisnya adalah soal rangkap jabatan, mungkin aturan soal itu tak dipahami benar oleh BEM UI. Ketika mereka yang ibaratnya anak Sang Rektor teriak The King of Lip Service, ternyata Sang Rektor sendiri yang ibarat Papa bagi mereka, malah diadili karena "Servis" jabatan.Â
Ketika BEM UI mempertanyakan kinerja Presiden sebagai orang nomor 1 di republik ini, senjata makan tuan kembali mempertanyakan integritas Rektornya sebagai orang nomor 1 di institusi UI terhadap aturan statuta tekait rangkap jabatan.
Salam akhir Bulan Juni 2021..
Yukk ngopi..
Referensi :Â
1. Wikipedia
2. Kompas
3. CNN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H