Just Sharing....
Saya tertarik pada foto di laman twitter Kementerian Ketenagakerjaan seperti foto di atas.
 Alasan pertama, karena saya pernah ada di masa itu. Alasan kedua, karena saya nanti akan jadi orang tua yang menghadapi anak muda dengan kegalauan level dewa ini, manakala anak saya ada di periode itu.Â
Menarik mencermati poin pada ekspetasi beban berkurang. Hmm..tapi beban apa dulu ini.Â
Bila yang dimaksud adalah beban finansial orang tua membiayai anak selama menjalani pendidikan dari sekolah menengah hingga universitas, mungkin iya. Tapi sebenarnya tidak juga.Â
Alasannya adalah ketika anak sudah usia tamat dari perguruan tinggi, justru beban biasanya dirasakan si anak, bagaimana membahagiakan orang tua dengan penghasilan dari dia bekerja.Â
Ini adalah sindrom dari Generasi Sandwich dimana anak-anak dijadikan atau merasa harus mensejahterahkan Mama Papanya sebagai pengabdian.Â
Bahkan ini lebih terasa manakala Skripsi atau Tugas Akhirnya menggantung dan ngga kelar-kelar di tingkat akhir lantaran rasa tanggung terhadap keluarga yang terus membiayai.Â
Pernah ngerasa ngga ada di level  rasa itu? Hehe...
Sejumlah realita ini akan mendorong wisudawan dan wisudawati pengen segera mendapatkan pekerjaan setelah ijazah ada di tangan. Sayangnya berburu tempat kerja sebagai level baru dalam hidup mereka, bisa dibilang nasib-nasiban.Â
Ada teman yang sebegitu mudah dan cepatnya mendapatkan pekerjaan, ada yang mesti harus mengajukan 30 lamaran baru bisa dapat salah satunya. Bahkan ada yang hanya berhenti sampai di tahap wawancara setelah itu bubar jalan..hehe.Â
Pada dasarnya menemukan pekerjaan yang sesuai bakat dan jiwa masing-masing orang itu berbeda kendati mereka dulunya sama -sama kuliah di jurusan yang sama dan di angkatan yang sama.Â
Kamu ya kamu, teman mu ya teman mu. Rejeki dan garis hidupmu sudah digariskan ilahi, so bersyukur lah dengan apa yang selaras jiwamu.Â
Ketika kamu mencintai apa yang kamu kerjakan, di situlah kamu memberi arti pada orang-orang tercinta, pada komunitas masyarakat, pada daerah dan pada negara.Â
Menemukan mereka yang bekerja pada bidang yang dulunya tak sesuai dengan pilihan studi di universitas, sangat banyak di negeri ini. Hal ini bisa saja karena jiwanya ada di situ, passionnya di sana.Â
Tak menjadi sia -sia ilmu yang diperoleh, karena di pekerjaan itu pun mereka masih bisa menerapkan keilmuan nya atau paling tidak megembangkan cara berpikir secara studi nya dahulu.Â
Dengan makin beragam dan beraneka lowongan pekerjaan, bisa saja kamu terdampar di "pulau yang asing"namun kamu menemukan passion mu dan merasa pulau itu nyaman dan seturut dengan tujuan dalam hidupmu.Â
Saya punya teman cewek saat di SMA. Dia tak hanya paling pintar di kelas hingga tamat, tapi juga terbaik di tingkat propinsi. Meski sama -sama ketrima di PTN, dia jauh lebih bergengsi. Ketrima di ITB.Â
Lima tahun kemudian dia tamat. Sebagai sahabat, saya bangga. Tapi tau dimana dia bekerja kini? Di sebuah yayasan pendidikan sekolah keagamaan.Â
Passion dia adalah bisa bekerja sekalian melayani Pemilik Kehidupan karena sejak sekolah menengah, saya mengenal dia aktif di pelayanan rohani anak muda.Â
Tentu ini melenceng jauh dari keilmuan, di luar dari kebanggaan banyak anak di negeri bila alumni dari PTN top itu harusnya kerja di perusahan A, B, C dan D dengan gaji sekian di atas lulusan dari PT lain yang mungkin secara grade lebih rendah.Â
Apalagi dengan latar belakang tersebut, sangat mudah bagi dia untuk bekerja di mana aja, apalagi di daerah yang memang kekurangan SDM. Â
Tapi teman saya tetap merasa bahwa ilmu selama kuliah dan semua kebanggaan itu, apalah artinya tanpa melayani dan bekerja menggenapi apa yang sesuai tujuan hidupnya.Â
Toh bisa menerapkan bekal ilmunya di bidang yang ditekuni sekarang. Sembari mengajar dan memberikan inspirasi bagi para siswanya.Â
Tentu ini sifatnya  personal pada masing-masing orang, sesuai dengan panggilan jiwa yang tak bisa dipaksa atau diarahkan.Â
Lha  panggilan jiwa mu ke mana setelah tamat? Ikuti kata hatimu...
Satu hal yang pasti, dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, bisa saja passion mu akan berubah karena musim-musim yang baru dalam kehidupan mu.Â
Apakah dengan begitu "beban" akan berkurang setelah menggapai impian? Tidak juga.Â
Karena di setiap level kehidupan, setelah bekerja, setelah menikah, setelah punya anak, setelah usia terus merambat hingga manula, beban hidup akan terus ada, tergantung bagaimana memaknai "beban" itu.Â
Sebagai ujian yang bikin daya tahan jiwa bertambah, atau daya tahan jiwa merapuh....
Salam,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI