Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Usia 25 Sudah Harus Kerja karena Tunjangan Anak PNS

11 Mei 2021   21:49 Diperbarui: 15 Mei 2021   08:54 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cari kerja di usia 25. Sumber: istockphoto via Kompas.com

Just Sharing...

Bila bicara soal usia 25 tahun, saya selalu ingat pesan Mama. Bukan Mama minta pulsa tapi Mama minta anaknya sudah harus mandiri di umur segitu. 

Alasannya sederhana. Karena saya dan 2 orang saudara anak seorang PNS. Tunjangan bagi 3 orang anak, yang diakumulasi ke gaji orang tua, akan berakhir tatkala anak berumur seperempat abad. 

Jadi PNS itu boleh dibilang gaji tak besar. Hidup sederhana hingga pensiun. Beruntung ada tunjangan bagi buah hati maksimal 3 anak. 

Meski nanti pencari nafkah meninggal di usia sebelum purna tugas, tanggungan anak istri masih dibiayai negara sesuai ketentuan yang berlaku. 

Begitulah yang kami alami. Ketika belum masuk SD, Papa berpulang karena sakit paru -paru. Meninggal muda sebelum 40 tahun. 

Penyebabnya nya salah satu gara -gara suka minum-minuman keras bersama koleganya sesama PNS. Itu belum ditambah kebiasaan merokoknya yang tak putus-putusnya. 

Saya tau kebiasaan jelek Papa seperti itu, karena di usia kecil sering diajak bersamanya kala sante-sante sama Om -Om PNS lain, yang rumah mereka sepersekian blok dari perumahan pemda, tempat kami tinggal. 

sumber:wisgoon.com
sumber:wisgoon.com
Pulang kerja masih pake seragam minum tuak. Tarik rokok. Ngobrol sama karib-karibnya sesama satu biro (dulu di Pemerintahan ada biro-biro). 

Ibarat suami-suami takut istri. Papa dan grup nongkrongnya sembunyi-sembunyi biar ngga ditahu sama para pasangan. 

Udahannya saya yang diinterogasi Mama setelah sampai di rumah. Ngapain aja Papa di luar dan pergi sama siapa aja. 

Ternyata sejumlah tante -tante lain tetangga kami, yang suaminya nongkrong sama Papa, juga ikutan mencecar saya. 

Hehe...lucu juga mengenangnya. 

"Kamu anak laki-laki. Mama ngga mau kamu mati muda kayak Papamu," demikian kata Mama ketika Papa sudah berpulang. 

Dan luar biasanya pesan orang tua. Dari kecil sampai usia sekarang, saya memang tak merokok dan juga miras. 

Takut aja. Apalagi saya menyaksikan sendiri bagaimana sakitnya beliau. 

Bahkan menghembuskan napas terakhir pun, saya berdiri bersama Mama di samping ranjang di Rumah Sakit Propinsi. 

"Papa cuma PNS.. Yang Papa wariskan hanya pensiunan dan rumah. Mobil (dinas) akan dikembalikan ke kantor. Pelihara anak-anak Ma," masih terngiang pesannya beliau, meski sudah tak sadar dan meracau. 

Meski itu  sudah lebih dari 30 tahun lalu, namun dalem banget. Setidaknya bagi saya anak cowok.

Sebagai Single Mother, sejak kecil, kerap Mama berpesan harus bisa mandiri sebelum usia 25 tahun. Karena tunjangan pensiun anak akan berakhir di usia segitu. 

Harus bisa kerja. Cari uang sendiri. Harus sekolah semaksimal mungkin, demi menghargai apa yang Papa wariskan, meski besarannya juga tak besar. 

Ketika kakak perempuan saya genap berusia 25 tahun, jatah uang pensiun berkurang. 

Karena hanya dihitung sisa 2 anak 1 istri. Demikian juga ketika saya nyampe di umur 25 tahun, makin berkurang total uang bulanan pensiun. 

Demi pesan Mama, saya bersyukur sebelum usia 25 tahun sudah bekerja. 

Dengan bekal keaktifan di Majalah Kampus, ditambah sedikit bisa bahasa inggris dan komputer, dan pengalaman berorganisasi, menjadi dokumen pelengkap lamaran ke sebuah perusahaan lokal di Bali. 

Beliau senang ketika saya mengabari  bahwa sudah kerja, meski gajinya masih kecil. 

Bahkan lebih terharu lagi manakala saya membelikan selimut bed cover bercorak Bali sebagai hadiah ulang tahunnya kala itu,dengan penghasilan bekerja di perusahaan pertama itu. 

Hal paling berat bagi Mama, adalah ketika saya mengutarakan bahwa saya memilih untuk tak jadi PNS meski sudah bergelar sarjana. 

Itu berarti saya tak pulang ke kampung halaman, tapi akan tetap di Bali atau bekerja di daerah  lain. 

"Kamu tau bagaimana hidup sebagai PNS. Mama tidak paksa, pilihlah yang terbaik bagi hidupmu," demikian pesan Beliau. 

Meski keluarga besar lain, kurang setuju dengan pilihan saya, apalagi sejak kuliah, saya sudah di plot sebagai calon PNS di daerah setelah tamat, karena ikatan tunjangan pendidikan dengan tujuan tersebut. 

"Banyak yang mau jadi PNS...Sayang sekali Ade sudah punya jatah, tapi Ade lepaskan..." demikian kata keluarga besar. 

Itu adalah keputusan berat dan sulit. Melepaskan  kesempatan  itu dan memilih untuk bekerja di perusahaan swasta. 

Karena sudah melepas yang terbaik di mata orang lain, saya harus mendapatkan yang jauh lebih baik atau sama baiknya sebagai gantinya. Dan saya bersyukur untuk itu dan semua proses yang dilewati. 

"Kalo kamu jadi PNS, hidupmu tidak akan jauh bedanya dengan kehidupan Mama Papa dulu. Cuman beda dekade, beda generasi." begitu pesan Mama. 

PNS tahun 70 dan 80-an, dibuatkan perumahan oleh pemerintah, dibayar dari gaji yang dipotong setiap bulan. 

PNS jaman sekarang, rumahnya KPR tapi dipotong setiap bulan atau SK-nya di jadikan jaminan.

Apa kesamaannya dengan PNS jaman dulu? Tetap sederhana dan cukup...Itu saja. 

Sekian tahun kemudian, saya benar-benar mengamini apa yang pernah diucapkan orang tua.  

Manakala memeriksa pengajuan kredit dari profil nasabah berstatus PNS, dengan melihat besaran gaji dan tunjangan, dari golongan golongan 2 hingga golongan 4. 

Tidak besar tapi cukup.... meski itu relatif pada masing-masing rumah tangga. 

Bagi saya, hidup adalah pilihan dan usia 25 mungkin adalah momentum. 

Memilih mau ke mana dan mau dikenal sebagai apa, meski dengan beraneka  latar belakang yang membentuk kehidupan seseorang. 

Selalu ada harga yang dibayar dari sebuah pilihan, karena kehidupan adalah soal memilih dan menjalani. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun