Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bahaya di Balik Trik Penjual "Ambil Dulu Barangnya, Nanti Baru Bayar" Tanpa Hitam di Atas Putih

28 April 2021   12:52 Diperbarui: 28 April 2021   22:30 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membeli buah dan bayarnya belakangan (Sumber: phxere.com)

Just Sharing....

Ini kisah nyata kemarin sore. Seorang nasabah yang punya usaha jus buah merasa mangkel sekali.

Penyebabnya gara-gara ditagih seorang supplier buah yang merupakan seorang wanita berumur yang mana usianya sepantaran si nasabah. Dia datang bersama suaminya. 

"Saya kan sudah nolak beberapa hari lalu, jangan dikasih lagi buah alpukat banyak-banyak. Tapi ibunya bilangnya enggak apa-apa pakai aja dulu, bayar belakangan," curhat sang nasabah kala saya menghampirinya di kamarnya. 

Ternyata baru 3 hari, nasabah tersebut sudah ditelepon untuk melakukan pembayaran. 

Belum puas dengan jawaban sang nasabah yang mengatakan buah titipan belum banyak terjual dibuat jus meski sedang Ramadhan, datanglah langsung si penagih. 

Kebetulan saya juga sedang berada di sana. Karena tak enak perihal penagihan, ibu (nasabah) meminta tolong pada suaminya agar memanggil saya ke dalam menemui ibu. 

Beliau sedang sakit dan berbaring di ranjang. Sedikit kesal juga karena sudah jengkel ditambah enggak enak badan, bikin tak sudi menemui si supplier. Cuman karena sedang puasa, mencoba untuk mengontrol emosi. 

"Mas Adolf, bisa bantuin ibu dan bapak enggak? Pinjam uangnya untuk bayarin, ibu sakit ndak bisa ke ATM. Bapak juga sedang ngelayanin pelanggan. Nanti malam ibu ganti," pintanya. 

Pasangan nasabah ini tinggal berdua saja tanpa bantuan anak. Mereka sudah seperti orangtua saya sendiri karena sudah 8 tahun menjalin relasi sejak mengajukan kredit ke kantor. 

Para pedagang di pasar tradisional (Dokumentasi pribadi)
Para pedagang di pasar tradisional (Dokumentasi pribadi)

Sebagai tipe orangtua penolak generasi sandwich, mereka mengelola sendiri aktivitas usaha harian. Padahal bapak telah berusia 74 tahun dan ibu 61 tahun. 

Jadi bagaimana mungkin tidak membantu. Maka saya bergegas ke ruang tamu dan mengeluarkan dompet kemudian membayar uang kepada supplier buah. Ibu pemasok buah pun mengucapkan terima kasih kepada saya. 

Terlihat suaminya sedang menungggu di atas sepeda motor di parkiran rumah, sembari matanya melirik ke teras lewat spion motor.  Ketika mereka pulang, saya mendapatkan sebuah pelajaran berharga. 

Terlebih beliau curhat soal pola bisnis di antara mereka. Termasuk karakteristik si penagih yang bagi saya orang baru dan juga tipikal nasabah sebagai orang lama yang saya kenal baik. 

Kisah di atas ini saya tuliskan, semoga jadi pembelajaran juga. Kali-kali ada manfaatnya...hehe. 

Keuntungan dan kerugian pola bisnis "ambil aja dulu, nanti baru bayar," tanpa hitam di atas putih. 

Konsinyasi (consignment) secara sederhana, adalah sistem titip jual. Umumnya dilakukan oleh pemilik produk yang menitipkan produknya pada pihak yang nantinya akan memasarkan produk tersebut. 

Pada sistem kerja sama ini, biasanya terlebih dahulu dibuat surat perjanjian yang berisikan hak dan tanggung jawab, beserta konsekuensi atas kondisi-kondisi tertentu sesuai kesepakatan bersama. 

Bukti hitam di atas putih pada lembaran kontrak, akan saling mengikat satu sama lain. 

Ketika masih bekerja di sebuah perusahaan impor asal Amerika, saya mewakili kantor kerap melakukan sistem ini dengan sejumlah rekanan. 

Baik itu pengusaha lokal atau para ekspatriat asing yang punya usaha di Bali, dan membutuhkan produk tersebut.   

Kontrak (menyesuaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris), bersifat legal dan mengikat. Satu dokumen dipegang oleh manajemen mereka, satu bagi kami di perusahaan. 

Pola bisnis yang terjalin, ringkasnya perusahaan menitipkan barang impor tersebut di lokasi usaha mereka pada setiap awal bulan. 

Kemudian pada akhir bulan, kami menerima pembayaran seandainya ada yang terjual (setelah dikurangi prosentase diskon sebagai jasa titip). Pada konsekuensi tertentu, ada yang terjual banyak ada yang sedikit. Bila ada yang terpakai oleh internal mereka, tetap harus dibayar. 

Demikian juga misalnya, seandainya produk kami yang dipajang oleh mereka "bermasalah" dalam tanda kutip, mereka akan meminta ganti rugi material. 

Dampak lainnya bisa mengakhiri hubungan kerja atau membawa ke ranah hukum bila mana skala dan dampaknya besar. 

Apa bedanya dengan sistem titip jual di level pedagang kecil seperti pedagang buah versus penjual jus buah ini? 

Bila ditelusuri, hampir merata para pedagang kecil hingga pedagang kelas pasar tradisional, tak memberlakukan adanya hitam di atas putih. 

Cukup bermodalkan kepercayaan dan saling menguntungkan. Meski kadang ada saja kisah miris siapa memanfaatkan siapa, siapa memaksa siapa. Saking percayanya, keluarlah bahasa "enggak apa-apa ambil aja dulu, nanti bayarnya". 

Potensi bahaya dari pola relasi bisnis semacam ini, seperti yang terjadi pada kasus di atas antara lain: 

1. Si Pemasok buah memanfaatkan si penjual jus untuk membeli produk yang kurang laku atau menghindari risiko rusak
Produknya adalah buah alpukat dan nama buah-buahan lainnya, tak bisa disimpan lama karena bisa membusuk. 

Ketika menjual ke tempat lain, misalnya di pasar tradisional jika dijual tak laku banyak, kepikiranlah untuk drop aja semuanya ke si penjual jus. 

Keuntungan pemasok, meski tak dibayar langsung, tapi beberapa hari kemudian dia sudah bisa dapat uangnya. Daripada di rumah, rugi bila membusuk.  

Makanya kenapa di-drop sampai hampir sekian kardus padahal tak di-order loh berapa banyak. Sudah ditolak secara halus, tapi keluar lagi bahasanya seperti judul di atas.Hehe...

2. Pemasok mengantarkan dalam jumlah banyak, dalam kondisi "bercampur dan bervariasi" dengan harga sedikit miring
Ketika diantar sekian kardus, apakah pasangan nasabah ini akan sortir ulang dan pilah-pilah? Bisa jadi iya, namun bisa jadi tidak. 

Namun dengan dikasi harga miring, itu bikin hati senang tapi bahaya juga bisa menanti kemudian.  Ternyata bercampur dan bervariasi itu ada buah yang matang, ada yang matangnya kebanyakan hingga bila tak segera dijual bisa membusuk 1 atau 2 hari setelahnya. 

Ada juga yang belum matang sempurna sehingga pada saat si pemasok datang menagih, buah titipannya belum bisa dibikin jus, padahal uang sudah harus keluar. 

Silahkan analisa sendiri yang untung siapa, yang buntung siapa. 

3. Penjual jus harus menyediakan ruang ekstra dan esktra-ekstra yang lain
Karena tak ada hitam di atas putih yang disepakati kapan harus membayar, si penjual jus sewaktu-waktu bisa ditagih. 

Dengan alasan lagi butuh uang buat mendadak buat ini buat itu, yang kadang bikin tak enak psikologis seseorang yang dititipin produk melakukan "pemaksaan".

Belum lagi kuantitas dari barang yang dititip, memaksa si pemajang atau si pemasar, mesti siapkan tempat ekstra agar aman, tidak rusak dan tidak tercuri. Itu biaya semua kakak. 

Belum lagi ekstra menjaga karena bila terjadi sesuatu pada produk titipan, harus diganti atau dibayar. 

Meski ada ketidaknyamanan dari pola bisnis semacam ini, sebenarnya ada keuntungan tersendiri juga bagi yang dititipin atau ibaratnya dipinjamkan dulu, secara umum terlepas dari apa produknya: 

1. Tak (murni) keluar modal di awal
Kata orang sih begitu, cuman sebenarnya "abu-abu" juga. Maksudnya adalah membuat dari bahan mentah jadi produk yang bisa dikonsumsi atau dijual memang butuh biaya banyak. Tapi memasarkan dan memajangnya, juga perlu pengawasan intens karena bukan barang sendiri.  

2. Produk titipan yang juga dikonsumsi sendiri, bisa dapat lebih murah
Ada sistem titip sederhana dan tradisional semacam ini di masyarakat, di mana barang yang dititip, juga dipakai atau dikonsumsi oleh si pemasar. 

Sudah pasti keuntungan bisa dikasih lebih dikit bayarnya dibanding pembeli lain. Tapi ada bahayanya juga yang mana kadang malah saking kepengennya, sebagian besar yang dititip malah lebih banyak dipakai sama pemasarnya. Misalnya titip produk camilan, semacam rempeyek, krupuk, dan lainnya...hehe. 

3. Memanfaatkan jaringan dan kapasitas yang dimiliki 
Bila si penitip punya banyak channel atau jaringan semacam pertemanan dan komunitas, tentu ini bisa jadi ladang dan lahan pemasaran. 

Belum lagi bila kapasitas dan ruang properti di tempat si pemasar juga mendukung, rasanya tak salah juga dicoba. 

Cuman itu ya bund....tetap diawasi dan dikontrol terkait tanggung jawab. Sama jangan lupa, hitung-hitungan cuannya juga. 

Meski pengawasan, tenaga dan fokus itu bukan komponen fisik uang, tapi semuanya ada konversi ke biaya juga, jadi berhitunglah secara bijak.

Alangkah baiknya juga, bila perlu, membuat hitam di atas putih. Menyesuaikan dengan skala usaha. Tujuannya agar sama-sama menguntungkan, Bukan satu pihak saja. 

Cuman kesulitannya ya pada pekerja kelas pasar tradisional, butuh edukasi ekstra tuk membiasakan. Mereka rasanya sudah pakem dengan pola kepercayaan "ambil aja dulu, nanti mau bayar"

Hehe...

Salam, 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun