"Emang punya berapa lemari es?", tanya saya.Â
"Cuman satu, tapi kan dipakai juga buat yang lain. Mau beli baru, kan uangnya buat modal beli buah sama yang lain. Mau kredit, tapi bapak...", kalimatnya sekejap berhenti sambil matanya melirik ke suaminya.
"Takutnya ndak bisa bayar Mas, kalau ada apa-apa sama kami, gimana ngelanjutin", langsung disambung sama bapak.
Akhirnya kami duduk bertiga, saya tanya berapa harga jus per gelas, berapa harga mie rebus, dan harga dagangan lain. Lalu, saya tanyakan juga total pembeli harian, lalu menganalisa. Â
Hasilnya adalah mereka berniat untuk kredit sebuah lemari es, karena di tahun itu, kantor saya juga membuka pembiayaan kredit elektronik dan lain sebagainya.Â
"Kalau ndak bisa bayar gimana?", tanya beliau berdua.
"Harga lemari es itu cukup dibayar dengan cicilan 300 ribu per bulan alias 10 ribu per hari. Dalam sehari, sisihkan sejumlah itu dan pisahkan. Di akhir bulan, uang terkumpul itu disetor sebagai angsuran", saran saya.Â
Bandingkan uang 10 ribu itu dengan uang bensin yang bapak keluarkan bila mencari kekurangan es batu di luar rumah? Risiko kecelakaan karena faktor usia, penglihatan yang sudah tak tajam seperti usia muda, dan harus tinggalkan ibu pada saat sedang ramai-ramainya.Â
Risiko yang mungkin terjadi, jauh lebih mahal dari uang 10 ribu yang disisihkan. Lagi pula lemari es yang baru bisa digunakan untuk penyimpanan buah juga.
Setelah agak lama meyakinkan, akhirnya bapak menyetujui niat ibu yang dari awalnya memang menginginkan tambahan mesin pendingin. Mereka malah kredit lagi yang baru, sehingga totalnya ada 3 lemari di kedai mereka. Kini telah lama lunas, dan uang 10 ribu yang disisihkan setiap hari dialihkan untuk membayar polis asuransi unit link sekalian investasi untuk hari tua beliau berdua.Â
Begitulah, kadang memang harus dibuka pemikirannya, lalu biarkan nasabah yang memutuskan tanpa adanya paksaan.Â