Kuliner dipasarkan di media online, semacam grup facebook bersama seperti yang ada di Sumbawa, dan bisa jadi ada di banyak kabupaten/kota lain di tanah air, sudah pasti beda dengan mengupload di website pribadi.Â
Produk dan tampilan dagangan bisa sama, namun respon (komentar) dan jumlah pengguna yang melihat, cenderung lebih banyak di grup komunitas yang dikelola oleh para admin. Mungkin terbantu lantaran  sifatnya serabutan, pembeli mencari produk apapun, bisa ketemu dagangan makanan di situ.Â
Selain itu,kuliner penjual secara otomatis akan dibandingkan dengan kuliner sejenis atau yang beda dari para member lain. Wajar memang. Ibarat pasar bebas mini versi lokal, pembeli punya preferensi dan selera beragam.
Bagaimana agar terlihat unggul? Ini hanya sejumlah pemikiran sederhana, yang sekiranya bisa diterapkan.Â
1. Rasa tetap nomor satu.Â
Alasan utama ketika mencoba sebuah kreasi makanan, kerap kali si pemakan lebih penaran pada rasanya gimana dibanding cara makannya gimana. Setelah di rasa enak dan pas di lidah, baru akan fokus ke kemasan, estetika dan lain-lainnya.Â
Lidah manusia mampu membedakan beraneka rasa. Manis,asem, asin, gurih, pahit dan lainnya. Menariknya setiap makanan, apapun itu, selalu punya nuasa rasa yang mewakili dan dominan.Â
Makanan dengan rasa yang mantap bagi kebanyakan orang, cenderung menarik pembeli lain. Meski lokasi di sudut gang atau masuk ke gang yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua, akan banyak di cari.Â
Tanpa promosi luas pun, orang akan bercerita dari mulut ke mulut. Dan di Indonesia, ada banyak contoh di hampir semua daerah, kedai-kedai makanan dengan produk makanan tertentu diminati dan orang rela antri tuk mencicipinya. Laris maniss. Sudah pasti ada resep khusus dan rahasia.Â
2. Bersih, sehat, higienis.Â
Tampilan kolase foto makanan di media online, bisa orijinalnya seperti itu, bisa juga tidak. Penyebabnya antara lain : beda kualitas kamera yang digunakan tuk memotret dan teknik editing mempercantik obyek foto.Â