Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menghadiri Pesta Nikah dan Kebiasaan Donasi Minimalis Makan Maksimalis

13 Februari 2021   17:42 Diperbarui: 13 Februari 2021   21:55 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh ally j dari Pixabay

Just Sharing....

Dua hari lalu saya mampir ke salah satu mantan nasabah . Seorang wanita usia 50 an yang punya usaha cafe kecil-kecilan. Sekedar ngopi sambil ngecek email dan baca WA yang masuk. Ketika duduk berjarak dengan beliau karena aturan prokes, kami pun larut ngobrol. Dia tetap kenakan masker.

Ternyata beliau baru pulang dari acara nikahan keluarga di tengah kota. Pantasan masih melekat gincu merah di bibirnya. Baju yang dipakai masih ala-ala baju kondangan dengan jilbab hijau menutupi rambut dan kepalanya. Kata beliau, masih sepupuan sama orang tua si cewek. So mau ngga mau, ikut rembuk sebagai panitia di bagian dana. 

"Meski pandemi gini, dan tak banyak yang hadir, biaya weddingnya lebih dari 50 juta. Sebagian besar habis buat biaya konsumsi. Ada sumbangan amplop dari para undangan, namun jumlahnya tak sampai segitu.

Kesalnya,beberapa amplop yang isinya hanya 2 ribuan, 5 ribuan. Bukan apa -apa sih, makannya aja soto kambing, sate kambing, rendang, sama es krim dan lain-lainnya. Masa tega banget sihh ngasih donasi segitu?" curhat beliau ngegass. 

Uppss. Saya minum dulu kopinya sebentar. Sambil tetap pandangin beliau. Tidak lupa pasang senyum tipis. Menebak-nebak, apalagi yang hendak dikatakan. 

"Datang kondangan pakaiannya dibagus-bagusin, tas sama aksesori. Turun pula dari mobil. Giliran ngasih amplop, pelit amatt. Lha dikira harga daging sekilo berapa? Beli bumbu dan bahan-bahannya berapa? Coba kalo anak mereka yang menikah, trus yang hadir cuman ngasih segitu, apa kira-kira yang mereka rasakan ya Mas?" lanjut beliau tumpahkan isi hatinya. 

Well...kalimat berujung pertanyaan itu bikin saya sedikit berpikir. Dua bulan lalu, salah seorang nasabah juga berkisah hal yang mirip. Cuma beda lokasi di kabupaten lain. Tapi jauh sebelumnya, sudah sempat dengar ada celetukan model donasi versi minimalis banget. Bahkan kadang sering jadi bahan obrolan yang dibalut sebagai candaan atau humor. 

Entah maksudnya menyindir pelaku undangan model begitu atau bisa juga menertawakan masyarakat kita yang pola dan modusnya tak berubah meski jaman dan dekade sudah berlalu. 

Sebenarnya bila diamati, perilaku semacam ini oleh tak sedikit warga hanya pada acara yang levelnya menengah ke bawah. Seperti halnya yang dilakukan kebanyakan di masyarakat.

Untuk level ekonomi menengah ke atas, jarang terjadi. Ini dikarenakan siapa yang diundang dan siapa yang boleh hadir, sangatlah terbatas. Sifatnya privat dan ekslusif. Dengan demikian nominal donasi, entah dalam bentuk uang atau barang, atau bisa jadi dibalut kepentingan bisnis, sangat jauh berbeda.

Pada hajatan atau kondangan di tingkat RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan hingga kabupaten, atau kompleks perumahan atau di lingkungan kerja, di mana pemilik acara mengundang tanpa membatasi secara ketat, pola dan modus seperti curhat sang nasabah di atas, besar kemungkinan dapat terjadi.

Apa saja contoh yang pernah diamati?

1 Ngasih amplop kosong

Demi mengelabui penglihatan,amplop di isi dengan lembaran kertas yang diusahakan akan terlihat seperti uang kertas bila diterawang atau dipegang.

Setelah diterima oleh penerima undangan atau sesudah dicemplungin ke kotak donasi, amanlah sudah dirasakan si pemberi. Tinggal nunggu dipersilahkan ke meja makan. 

2. Beri tanpa nurani. 

Tak apa bila memang sama sekali tak punya cukup uang. Namun seandainya miliki sejumlah dana, ada baiknya beri pake hati nurani. Jangan seperti misalnya donasi 2 ribu atau 5 ribu, tapi mengharapkan akan makan dan minum dengan porsi 50 ribu. 

Pertimbangannya mungkin karena biaya untuk makan siang atau makan malan yang harusnya keluar namun karena undangan pernikahan beserta jamuan makan, sebaiknya mendonasi sebesar itu atau minimal 50%-nya. 

3. Satu amplop mewakili satu grup atau sekelompok orang. 

Ini biasanya kadang juga ada. Satu amplop isinya 20 ribu, tapi dibelakang berjejer 5 orang. Hitungannya 20 ribu dibagi 6 kira -kira per orang donasi 3 ribuan...hehe. Ini pasti kelompok penganut prinsip ekonomi. Pengeluaran sekecil-kecilnya tapi mengharapkan yang dimasukkan ke piring dan tubuhnya sebanyak-banyaknya. 

4. Kombinasi dari 3 di atas ditambah pulang kondangan bawa bungkusan lagi. 

Ini juga salah satu tipe di warga kita. Sudah ngasih sekedarnya, tapi pulang kondangan masih bungkus rendang, sate bakar, aneka kue, es krim, jajanan, camilan hingga minuman kemasan botol atau plastik. 

Biasanya kresek atau tas plastik sudah disiapkan lebih dahulu sebelum hadir. bahkan kadang rantang susun mini sudah lebih dulu ditaruh di bawah meja hidangan. Weleh-weleh...

Bagaimana semestinya?

Selama ini hampir tak ada aturan baku atau norma tertulis yang mengatur nominal donasi pada helatan hajatan lokal yang mengundang orang hadir. Rasa-rasanya juga tak etis meminta setiap undangan harus memberi kisaran tertentu. 

Yang kemudian beralih di satu dasawarsa terakhir adalah menyarankan agar donasi lebih baik dalam bentuk uang dan bukan barang. 

Pertimbangannya dana hadiah bisa dibelikan barang sesuai minat dan kegunaaannya bagi pemilik hajatan, atau sumbangan yang terkumpul bisa menggantikan pengeluaran yang sudah dikeluarkan demi menghelat acara. 

Meski anjuran seperti ini agak sulit diterapkan oleh mereka yang tinggal di desa atau di kampung dengan penghasilan utama sebagai petani,peladang, pekebun atau mungkin nelayan. Lebih baik dan lebih mudah bagi warga dengan profesi -profesi ini memberi hadiah dalam bentuk hasil bumi. 

Di Pulau Sumbawa NTB, jamak terjadi. Petani bawang di Kabupaten Bima atau Petani Padi di Kabupaten Sumbawa, atau sebagai pelaut, sangatlah ringan dirasakan bagi mereka bila mendonasi bawang,padi atau ikan sebagai pengganti uang. 

Tentu ini bentuk donasi yang bisa saja sama dengan daerah lain di tanah air. Apalagi pada warga di pedesaan atau di perkampungan, biasanya jalinan relasinya masih sangat kuat dibanding warga di perkotaan. 

1. Beri yang wajar dan ikhlas. 

Ukuran wajar itu pribadi orang per orang. Karena tak dipatok,jadi berilah yang sesuai kemampuan. Bisanya 10 ribu, berilah 10 ribu jangan 2 ribu. Mampunya 50 ribu atau 100 ribu, berilah minimal separuhnya. 

Ini juga bila dikompensasi dengan jamuan atau sajian yang kan kita terima. Itulah makanya biasanya undangan sudah diberitahukan jauh -jauh hari agar tak hanya sedia waktu, tapi sedia juga berapa nominal yang mau didonasi secara ringan hati,bukan berat hati. 

2. Hindari berpikir yang punya hajatan sudah banyak uang, tak masalah kasi minimalis banget

Itu pikiran yang sebenarnya salah. Bikin acara,apapun itu hajatannya, butuh dana. Mulai dari panggung, sewa lokasi, dekorasi hingga menjamu para undangan.Kita bisa menganalisa sendiri atau bertanya pemiik hajatan tak berkeberatan. 

Anggaran itu bisa saja dana urunan dari beberapa pihak, dari tabungan pribadi atau pinjaman dengan agunan atau tanpa jaminan. Dan setelah hajatan usai, percayalah pemilik hajatan dan panitia penggagas akan berhitung pengeluaran dan pemasukan, dan hasilnya. 

Siapapun kita besar kemungkinan akan melakukan hal yang sama. 

3. Pengandaian, seandainya kita berganti posisi sebagai pemilik acara. 

Beberapa orang tua yang hadir sebagai undangan dalam pernikahan anak dari seorang teman, relasi atau kenalan, mereka memberi sewajarnya karena mengharapkan kelak bila anak mereka menikah, akan mendapat perlakuan yang sama. 

Dan hampir pasti, pada saat anak mereka menikah, mereka besar kemungkinan mendapat donasi yang wajar lantaran kesan baik yang ditanam. 

Begitu juga tak sedikit orang menghindari melakukan praktek pola dan modus mendonasi tanpa hati nurani, karena tak berharap itu terjadi pada mereka. Semacam prinsip karma atau hukum tabur tuai. 

Lainnya tak berniat, karena membayangkan respon pemilik kondangan menerima pemberian seperti itu. 

Pesan bijaknya mungkin adalah apapun yang ingin dikehendaki orang lain terhadapmu,lakukanlah itu pada mereka.Karena hidup terus berputar. Hari ini orang lain yang menikah dan kita yang diundang. Bisa jadi dikemudian hari, kita atau keluarga kita yang mengadakan resepsi perkawinan dan menjamu mereka sebagai undangan. 

Ternyata dihajatan tak hanya ada Restu, tapi juga Dona.....si.

Hehe....

Salam mendung di senja sore....

13 Februari 2021, 18.04 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun