Mana lebih enak, mengkritisi pejabat di jaman orde baru atau di jaman setelah reformasi?Â
Pengertian pejabat publik berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2010 adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas menduduki posisi dan jabatan tertentu pada badan publik. Lantas badan publik itu yang seperti apa? Â
Definisi badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, atau badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini berarti sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.Â
Bisa juga badan publik adalah organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Dari pengertian tersebut menjadi jelas pejabat publik itu katagori jabatan mana aja dan di lembaga mana aja.Â
Bicara soal mengkritisi pejabat publik, lebih berat di jaman seusai reformasi 1998. Di jaman Orba 1965 hingga 1998, pejabat publik cenderung dihormati bahkan disanjung.Â
Posisi dan kedudukan mereka yang ditempatkan sebagai pejabat pun lebih banyak rekomendasi dan atas campur tangan penguasa. Tanpa melalui mekanisme warga sebagai penentu utama.Â
Sistem kabinet dan pemerintahan di era itu, memang lebih cenderung sentralistik. Gubernur sebuah propinsi adalah seorang yang dipilih oleh kepala negara meski DPRD mengajukan beberapa kandidat. Dan sudah jamak bila pilihan Presiden adalah seorang yang dekat dan seirama dengannya. Setali tiga uang dengan kandidat Bupati di daerah lokal. Â
Begitu juga partainya. Cuma itu itu saja dengan partai mana yang menang, sudah bukan rahasia lagi. Meski demikian, pada sebagian warga di periode orde baru kala itu, merasa 'baik baik saja' dalam tanda kutip. Â Makan cukup, murah meriah dan minim gejolak.Â
Ketika meletus reformasi, memang kondisi bangsa juga sedang tidak aman. Krisis ekonomi di tahun 1997 yang menyebabkan nilai rupiah turun, menjadi salah satu pencetusnya.Â
Rakyat menginginkan sebuah perubahan dengan mengamati pola pemerintahan apa sih yang sedang ada di negara selama 1965 -1998. Termasuk di dalamnya pewarisan sistem KKN, Nepotisme dan Kolusi yang membelit. Dan mahasiswa serta anak muda di era itu menjadi eksekutor bersuara.Â
Cikal bakal beropini warga hingga hari ini tak bisa dilepaskan dari keran keleluasaan berpendapat yang dibuka sejak reformasi bergulir. Dampaknya yang bisa diamati hingga hari ini melubernya beragam opini.Â
Di media cetak, media online, media sosial. Ini tak terbatas pada media yang dikelola oleh negara dan kementerian -kementerian di dalamnya, tapi juga oleh pihak swasta.Baik di level nasional, level regional maupun level lokal.
Terlepasnya sekat pembatas komunikasi antara warga dan penguasa (pemerintahan), beserta pejabat yang notabene dipilih juga oleh rakyat tuk menduduki posisi tersebut, secara tak langsung memunculkan keberanian bertutur  ala warga.Â
Ini sedikit berbeda dengan pejabat publik, yang malah kuatir dan sedikit takut dengan kebebasan warga beropini. Terutama pejabat publik di tingkat lokal atau regional.Â
Mereka kian cepat merespon dan bisa dibuat terintimidasi hingga tak nyaman oleh beragam komentar yang dinilai menurunkan kewibawaan. Apalagi bila rambu-rambu kemerdekaan beropini dilanggar.Â
Meski sudah ada UU ITE beserta sejumlah norma tertulis maupun tak tertulis, yang diharapkan bisa jadi acuan mengenai konten berupa kritikan atau masukan yang hendak disampaikan warga, namun sifat cenderung lepas, spontan dan ngegas ala-ala warga kadang malah jadi bumerang juga. Bisa ditindak dan diciduk.Â
Ibarat terlalu keras salah, terlalu lembut juga kadang tak ditanggapi.Tengok saja beraneka kolom komentar di media sosial maupun media online yang memberi ruang tuk merdeka menyampaikan usulan dan kritikan.Â
Sebagian warga, bisa jadi dengan modal pengetahuan dan pendidikannya, lebih elegan mengutarakan opini nya lewat tulisan di jurnalisme warga maupun media cetak. Itu pun bisa punya potensi bahaya bila kebablasan.Â
Jadi bisa dikatakan adalah baik ajakan Presiden Jokowi agar warga tak segan bersuara dan beropini. Melontarkan kritik juga masukan. Cuman himbauan ini kadang bisa jadi pedang bermata dua.Â
Komentar masyarakat dapat menusuk ke pejabat publik dan lembaga yang dipimpinnya, tapi di sisi lain bisa melukai warga juga. Malah punya kemungkinan digunakan pihak lain tuk rame -rame menusuk sang  penusuk. Dan di negeri ini, sudah banyak kejadian dan contoh kasus yang dapat dijadikan pengalaman soal beropini dan bersuara.Â
Salam,Â
 Referensi :Â
1. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2010/61TAHUN2010PP.HTMÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H