Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat Penanganan Covid 'Tumbang'Karena Covid dan 5 Realitas di Masyarakat

23 Januari 2021   15:58 Diperbarui: 23 Januari 2021   18:51 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:antara/nova wahyudi

Ibarat arisan....siapa berikutnya tak ada yang tahu

Maaf, bukan maksudnya menganalogikan. Cuma rasanya pola bergilir siapa yang sudah dan siapa berikutnya,hampir sama budaya arisan di masyarakat. Kita ndak bisa menebak karena semua kita, baik pejabat maupun warga biasa, punya peluang terpapar.  

Jadi membaca berita pagi ini bahwa Bapak Doni Monardo,ketua nasional Satgas penangananan Covid positif Corona, saya sedikit sedih juga terkejut. Sedihnya karena fokus dan konsentrasi beliau sejak korban pertama di tanah air pda Bulan Maret tahun lalu akhirnya tumbang di Minggu ketiga Bulan Januari 2021.  

Terkejut juga karena bagi saya yang warga biasa,mungkin sama dengan banyak masyarakat awam di luar sana, percaya bahwa mereka para pejabat adalah orang yang rutin menjalankan protokol kesehatan.

Apalagi jabatan beliau sebagai Ketua Penangananan, sama dengan pejabat kepala daerah lain di Indonesia yang tersirat dalam Undang-Undang Kekarantinaan juga sebagai motor penggerak pencegahan di daerah. Tapi ya itulah, pejabat juga manusia. 

Di awal tahun 2021 ini, seiring dengan gercep alias gerak cepatnya pemerintah untuk mendatangkan Vaksin Sinovac dan mendistribusikan ke seluruh propinsi, rupanya tak membuat Om Covid dan Tante Corona berhenti migrasi. Pola nomaden ke inang baru terus dilakukan menggunakan mereka yang positif tanpa gejala. 

Logika simpelnya dengan membandingkan dampak pengaruh antaran lingkaran besar dan lingkaran kecil. Paparan akan semakin meluas pada populasi yang tak terkontrol. 

Itu barangkali salah satu alasan mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Pulau Jawa dan Bali,bahkan diperpanjang hingga 08 Februari 2021.

Yakin divaksin? Mari melihat realita.

Terbelah dua. Ada yang mau divaksin, ada yang menolak. Yang tak bersedia menggunakan sejumlah aturan hukum sebagai pendukung. Meski pemerintah dan mereka yang pro divaksin, juga punya senjata hukum untuk mendorong warga mengikuti  program vaksinasi. Btw..coba deh lihat dulu realitas yang ada :  

1.  Kapasitas penampungan di rumah sakit rujukan sudah overload atau di atas 80 persen.

Bagaimana kita tahu? Sudah tentu dari berita dan media ,baik yang sifatnya ngeblog atau media online. Saking penuh, ada yang setengah mati keluarga nya cari rumah sakit agar bisa dirawat di sana. Alasannya bila ada gejala lanjutan yang lebih parah pada diri pasien, lebih mudah dan lebih cepat ditangani dibanding diisolasi di rumah. 

Ironisnya, pengelola rumah sakit rujukan, memberlakukan skala prioritas. Penderita kondisi berat yang dirawat duluan, menghindari penuhnya ruangan bila semua diterima.Tentu warga juga perlu memahani bahwa ini bukan maksudnya menolak. 

Lagi pula lamanya isolasi bukan sehari tapi mingguan. Kebayang ya complicated nya. Nunggu sampai 1 orang itu pulang dari isolasi minimal seminggu, padahal kasus perhari bisa lebih dari 1 yang dirujuk. 

2. Jumlah tenaga medis berbanding jumlah pasien.

Secara sederhana dengan logika, meski kita warga biasa bukan berlatar medis,pasti sadar 1 dokter itu maksimal untuk berapa pasien. Satu perawat dalam 1 ruangan itu untuk sekian pasien. Ada analisa,ada hitung -hitungannya. 

Tujuannya agar bisa bekerja maksimal sesuai standan profesi. Sama seperti kita yang lain dengan pekerjaan masing-masing yang bukan medis. Realitanya ketika yang masuk lebih banyak dari jumlah yang bisa ditangani, dapat berpotensi over beban kerja dan ketidaknyamanan. 

Mirisnya menangani pasien esiko penularan tinggi, jauh lebih berat karena faktor kehati-hatian. Ini belum ditambah, bahwa yang sakit di Rumah Sakit itu bukan karena Covid aja, tapi juga penderita penyakit lain yang sama beratnya. 

Meski kondisinya demikian, bisa jadi jumlah personil tidak bertambah. Normalnya 1 berbanding 10, bakalan bisa 1 banding 15 atau 20. Kebayang kan. 

3. Butuh lahan pemakaman tambahan. 

Meninggal karena Covid proses pemulasaran jenazah dan pemakaman sudah pasti berbeda. Pembukaan lahan kuburan baru di satu sisi untuk mengantisipasi lonjakan korban meninggal, di sisi lain juga untuk menghindari dampak sosialnya terhadap masyarakat yang  biasa menggunakan lahan pemakaman bersama. Sudah pasti biaya lahan dari anggaran pemerintah daerah.   

4. Cara pemerintah menangani ibarat menutup dengan satu tangan, membuka pelan -pelan dengan tangan yang lain. 

Tak ada pemerintah yang mau warganya susah apalagi binasa. Peran dan fungsi, dengan alasan mengapa pemerintah dipilih oleh rakyat, diatur dalam sejumlah undang-undang negara ,termasuk di Indonesia. Oleh karena itu mengapa mereka disumpah pada saat dilantik berdasarkan keyakinan (agama) yang dianut, karena pemerintah juga adalah wakil Tuhan di bumi. 

Pemerintah Kabinet Pak Jokowi, sepanjang diamati sudah mengeluarkan beberapa kebijakan penanganan. Sejak pandemi mulai bergulir, ada kebijakan PSBB yang lalu sekarang jadi PPKM. Ini ibarat satu tangan menutup atau membatasi pergerakan manusia, demi meminimalisir paparan orang per orang. 

Karena negara kita kepulauan, jumlah penduduk banyak (270 juta), sumber daya alam tak sama di masing-masing daerah, populasi kepadatan penduduk tak seragam antar propinsi (lebih padat di Pulau Jawa),  dan luasnya Indonesia dari Aceh sampai Papua, rasa-rasanya kurang bijak membandingkan penanganan di negara lain yang tipikal negaranya tak sama dengan Indonesia. 

Sumber :BPS_2020
Sumber :BPS_2020
Pemerintah mencari win -win solution, yakni jalan terbaik antara penanganan covid dan pertumbuhan ekonomi. Terlalu ditekan jangan, terlalu longgar juga jangan. Adanya PPKM hanya di 2 pulau dan pulau lain tidak diterapkan,  mungkin adalah opsi terbaik sementara dibanding semua pulau kena PPKM. 

Satu tangan yang dibuka demi penganganan Covid, adalah mendatangkan Vaksin Sinovac dari negeri Cina. Mengapa harus Cina?  Dan bukan negara lain? Mungkin itu yang ada di benak sebagian warga Indonesia. Apalagi identik dengan kata komunis yang sensitif terhadap warga, bila dikaitkan dengan salah satu partai dalam sejarah berdirinya Indonesia. 

5. Persepsi terbelah masyarakat terhadap vaksin berbanding motivasi pemerintah

Apakah pemerintah tak memikirkan apa kata rakyat bila vaksin diimpor dari Tiongkok ? Rasanya tidak. Selain lebih aman secara resiko, jauh sebelum kasus Corona, kerja sama kedua negara sudah berjalan lama. 

Pertukaran budaya, pertukaran teknologi hingga beraneka obat manjur versi Tiongkok yang banyak bertebaran di toko obat Cina  di hampir seluruh Indonesia dan kerap digunakan warga bila dirasa obat dokter tak mempan. 

Kita juga mungkin membaca dalam sejarah, Cheng Ho seorang kepercayaan kaisar Tiongkok pernah menjelajah hingga ke Indonesia dan meninggalkan jejak peninggalan karena proses akulturasi dengan warga lokal di abad 15. Di Indonesia pun, banyak pelaku usaha dan investor yang menjalin relasi bisnis dengan negeri tirai bambu itu. 

Selain kaitannya dengan berbau komunis, sebagian persepsi di warga yang tak rela divaksin adalah faktor kehalalannya dan tudingan bahwa pemerintah menggelontorkan anggaran ke negara tersebut demi mendapatkan vaksin, yang akan dijual kembali ke rakyat. 

Kendati pemerintah sudah menyatakan di awal bahwa vaksin Sinovac gratis, namun adalah wajar bila warga masih meragukan karena belum semua rakyat menerima vaksinasi. Sekarang yang diamati warga adalah bagaimana efek samping vaksin pada mereka yang sudah divaksin, dan bagaimana efektifitas daya tahan tubuh setelah divaksin. 

Di sisi lain, pemerintah berusaha mempersuasi rakyat demi tujuan positif penanganan Covid dan meminimalkan dampak lanjutan dari paparan Covid yang lebih luas terhadap berbagai sektor, yang tentunya akan berimbas pada beban anggaran dan ketahanan negara. Bahkan kementerian luar negeri pun menutup pintu bagi masuknya warga luar di awal tahun ini. 

Meski demikian, tumbangnya para pejabat terpapar Covid seperti Pak Doni Monardo, Ibu Khofifah Gubernur Jatim, dan ditahun lalu ada juga Pak Anis DKI Jakarta, Ibu Gubernur Bali dan sejumlah menteri hingga Bupati dan Walikota, turut berdampak pada masyarakat. 

Dari beraneka komentar di laman media, di satu sisi warga sadar bahwa Covid itu nyata, di sisi lain warga berpikir bahwa pejabat aja bisa kena, apalagi masyarakat biasa. Meski berbeda secara status, penghasilan dan kenyamanan hidup antara orang di atas dan orang di bawah, namun semua punya potensi terpapar yang sama. 

Mungkin yang terpenting saat ini bagi rakyat, sehubungan kebijakan pemerintah, bahwa kebutuhan mencari rejeki itu wajib, namun musibah harus diihindari, Ya seperti tulisan di bak truk ini...hehe.  

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
 

Salam, 

Referensi : 

1. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5276914/anies-baswedan-dan-deretan-pejabat-di-indonesia-yang-tertular-covid-19

2. https://nasional.kompas.com/read/2021/01/23/09351031/ketua-satgas-doni-monardo-positif-covid-19 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun