Tak kenal maka tak sayang....
Sebagai salah satu warga di tanah air yang tak tinggal di Jakarta, juga tak berdomisli di Pulau Jawa, saya bisa jadi representasi dari warga lain di luar pulau ini. Tak berkaitan langsung dengan pilkada DKI dan juga tak mengenal dekat Bu Risma, walikota Surabaya yang kini menjadi Menteri Sosial. Hanya dari media yang mengulas tentang mereka.Â
Apakah peran media meniup pamor pemimpin daerah di Jakarta, membuat warga di daerah lain juga ikut-ikutan mengagumi mereka? Eitss..sabar dulu. Jakarta bukan Denpasar, Surabaya bukan mewakili Ambon atau Mataram.Â
Sama -sama berlabel ibu kota tapi tak menjamin tipikal warga dan karateristik daerahnya sama. Demikian juga penilaian mereka ke kepala daerahnya.Â
Lalu apa hubungannya? Ketika Ahok dan Anies bertarung dalam pilkada Jakarta beberapa tahun lalu, kita warga di daerah kok seakan-akan kecipratan kisruhnya. Orang DKI yang memilih, kenapa kisruhnya sampai ke daerah. Terbelah ke dua sisi. Bukan dalam tataran fisik, tapi tataran verbal dan komunikasi sosial.Â
Lalu kini yang lagi viral di awal tahun 2021 sebelum tragedi pesawat Sriwijaya SJ 182 mengalihkan sementara waktu, adalah soal polemik Menteri Sosial baru yang dulu walikota ibukota Jatim ini blusukan ke sejumlah warga di dekat kantor kementerian. Lha berikutnya di media muncul lagi simpatisan Bu Risma yang bertekad menggolkan beliau jadi Gubernur DKI pengganti Pa Anies.Â
Dari menteri ke Gubernur, logikanya turun derajat secara status bagi saya yang warga awam. Maksudnya di level pemerintahan dalam negeri, Menteri memimpin kementerian tanggung jawabnya pada Presiden.Â
Lha menjadi Gubernur berarti secara struktur di bawah Kementerian Dalam Negeri. Apa emang Bu Risma mau mengikuti jejak mantan bossnya, Bu Khofifah yang sebelumnya Mensos jadi Gubernur Jatim. Wallahualam.Â
Tapi sepertinya, menjadi gubernur mungkin lebih keren dan complicated. Ngurusin warga satu propinsi itu mungkin lebih punya kebanggan dibanding jadi menteri. Bisa diperpanjang hingga dua periode andai masyarakat memilih, beda dengan menteri, jarang  ada yang dua periode.Â
Lagi pula tergantung  siapa presiden terpilihnya juga toh. Menteri dipilih oleh Presiden, Gubernur dipilih warga. Lha mending jadi gubernur saingannya maksimal cuma 4 pasang dalam sebuah pesta demokrasi.Â
Menjadi menteri mesti bersaing dengan para pakar, ahli dan titipan partai. Kompetitor nya berat -berat. Dihitung -hitung probabilitasnya lebih besar jadi kepala daerah dibanding kepala kementerian. Iya kan!