Just Sharing....
Urusan pilih sekolah atau pilih kampus, saya termasuk korban rekomendasi. Maksudnya keputusan tuk melanjutkan pendidikan kemana, juga atas peran sejumlah orang. Salah satunya seperti yang pernah saya tuliskan di Kompasiana.Â
Masuk SMP dulu sistem rayonisasi, sehingga lulusan sekolah -sekolah dasar di kecamatan, diharuskan masuk ke salah satu SMP negeri. Bila tak terima, karena ambang nilai tak cukup atau alasan lain, mau tak mau masuk ke SMP swasta. Opsi lain coba daftar ke SMP negeri beda kecamatan meski lokasi jauh dari rumah. Â Â
Ketika ketrima di universitas negeri, juga hasil rekomendasi dari sejumlah guru ditambah pertimbangan sendiri. Jadi singkatnya, pernah ikut PMDK dan dikasi pilihan sejumlah PTN di Jawa. Saya pilih salah satu yang di Jawa Tengah. Jurusannya favorit banyak diminati calon  mahasiswa.Â
Hasilnya ngga lolos, tapi teman sekelas saya yang ketrima dan dipanggil. Akhirnya dia duluan terbang ke Jawa. Meninggalkan saya yang mesti bertaruh lagi lewat satu-satunya jalur terakhir , yakni tes masuk PTN.
" Kamu sih ngambil jurusan itu. Peluang tembus kecil karena perbandingannya bisa 1:40 hingga 1:60. Satu orang mesti mengalahkan 60 orang. Kenapa tak coba fakultas yang peminatnya tak sebanyak itu.," demikian rekomendasi beberapa guru di SMA, kala itu.Â
 Saran lain pilih PTN pertama yang top banget, pilihan kedua yang rasa-rasanya punya peluang lebih besar untuk diterima. Itu saran tambahan mereka. Dan setelah diterapkan, puji syukur hasilnya lulus pada pilihan kedua. Â
Pola sama direkomendasikan lagi ke keponakan, berdasarkan data dan pengalamanÂ
Salah satu keponakan,di awal Bulan Februari tahun lalu, minta saran soal pilihan tempat kuliah. Waktu itu dia sudah di kelas akhir di sebuah SMU Negeri di Papua. Kebetulan nilai akademisnya tergolong baik,direkomendasikan untuk kuliah di almamater saya. Alasannya sederhana : Ada Om nya yang bisa ngawasi...hehe.Â
Pertimbangan lain  adalah  :Â
1. Data nilai dan tipikal anaknya
Biasanya setiap semester, keponakan ini sering WA. Memberi kabar nilainya sekian, rangkingnya berapa. Dari kecil memang dekat dengan saya. Selain itu, saya juga kepo SMU nya di sana seperti  apa, dan ada banyak tidak kakak -kakak kelas nya yang yang ketrima di luar daerah.Â
Berdasarkan hasil kepoan itu, saya sarankan keponakan tuk ikut seleksi masuk tanpa tes di PTN almamater. Nah masalah selanjutnya adalah, agar bisa ketrima, jangan ambil jurusan yang banyak pesaingnya, ntar  bisa ngga lolos seperti pengalaman Om nya.Â
Tapi kalo yakin kemampuan diri sendiri, tak masalah. Karena kesempatan jalur ini cuma sekali. Agak lama juga dia memutuskan, akhirnya mantap dengan pilihannya dan WA ke saya.
"Saya mau ambil jurusan ini, bagaimana pendapat Om?" tanyanya lewat WA, di Bulan Februari tahun lalu.Â
Saya lihat lagi nilai-nilai rapor SMA dari kelas 1, kelas 2 hingga kelas 3, dan pada mata pelajaran apa saja dia stabil nilainya dan bagus, bukan turun naik. Karena kalo stabil nilainya atau meningkat dari kelas ke kelas berikutnya, biasanya pihak universitas akan menjadikan juga sebagai pertimbangan. Menyesuaikan jurusan yang dipilih.Â
"Ok, Om setuju, kalo Tuhan menghendaki, pasti ketrima. Kalo tidak lolos, juga kehendak-Nya," kata saya waktu itu.Â
Ada universitas swasta sebagai pilihan. Tak diterima di PTN bukan berarti tak pandai tapi ada peserta  lain yang jauh lebih tinggi nilainya sementara jatah kursi terbatas. Universitas swasta juga bagus.Â
Puji syukur, hasil akhirnya di Bulan April 2020, keponakan itu memberi kabar bahwa dia lulus dan diterima. Kini Jesika, sebut saja begitu nama anak gadis kakak saya itu, sudah memasuki semester dua.Â
Selama masa pandemi,dia tetap mengikuti kuliah online dari Papua. Tiket keberangkatan yang seharusnya Bulan Juli tahun lalu, oleh pihak Maskapai Garuda telah dibantu memindahkan ke awal Bulan Februari 2021 karena kami meminta agar ditunda.Â
Terutama yang mungkin secara kemampuan finansial rasanya sulit mengakses biaya pendidikan di universitas yang mahal atau yang rasa-rasanya jauh di atas kapasitas keuangan keluarga. Apalagi kuliah hingga sarjana itu butuh sekian tahun, dibanding D1 atau D2.Â
Dari tipikal anaknya juga, keponakan ini punya banyak teman lintas agama, lintas suku, sehingga bagi saya dan juga keluarga kakak,itu bisa jadi modal sosial yang mendukung dia selama proses perkuliahan di luar daerah dengan beraneka mahasiswa yang datang dari seluruh Indonesia.Â
2. Pengalaman dan fakta dari pihak keluarga sendiri.Â
Karena dulu saya kuliah di sana,jadi tau SPP nya atau sekarang disebut UKT, kisaran berapa. Kalo dulu jurusan eksak sekian, kalo ngambil jurusan non eksak sudah pasti lebih murah. Itu saya gambarkan lebih awal pada keponakan sebelum dia memutuskan pilihan di formulir PMDK nya.Â
Mau naik bis yang ke kampus sekian, mau ngekost sekian, mau ini dan itu, akan begini akan begitu. Termasuk kuliah di Pulau Dewata akan seperti apa dan bagaimana, termasuk sosial, budayanya, makanannya, dan pergaulan sosialnya.Â
Ada kelebihan, ada juga kekurangannya. Mau kuliah di Jakarta, kuliah di Makasar, kuliah di swasta atau di negeri, di Indonesia atau di belahan dunia lain, lebih kurangnya pasti ada. Tinggal pilah pilih aja dan putuskan. Menyesuaikan dengan kemampuan (keuangan dan minat kemauan si anak).Â
Selagi keluarga mampu, bersyukur. Karena banyak yang tak bisa mencicip dunia kampus bukan sebab tak pandai, tapi tak mampu secara materi. Kalo sudah kuliah, kuliah yang baik sampai selesai. Karena bukan bagaimana memulai, tapi bagaimana menyelesaikan.Â
Salam,Â
11 Januari 2021, 22.24 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H