Keputusan yang tepat pada waktu yang salah, kadang sulit diterapkan....
Saya tertarik dengan ide WFD alias Work From Destination yang digagas Bang Sandiaga Uno. Menteri baru Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif yang belum ada sebulan dilantik ini, ide dan strateginya lumayan unik. Mengapa? Mungkin beberapa di bawah ini alasannya.Â
1. Geografis Indonesia,negara kepulauan dengan sebaran propinsi dan kabupaten.Â
Setahun lalu saya ke Korea Selatan. Lama penerbangan dari Jakarta ke Bandara di Negeri Ginseng itu kurang lebih 7 jam tanpa transit. Saya kepikiran jarak tempuh yang hampir sama bila saya menumpang pesawat dari Jakarta ke Merauke dengan transit di Bandara Sentani Jayapura.Â
Padahal itu masih dalam satu negara. Tentu akan lebih lama bila terbang dari Aceh sampai ke Papua, bisa hampir setengah hari di udara Luar biasa kakak!
2. Persebaran tak merata, sumber daya alam dan pusat aktifitas masyarakat di skala regional atau nasional.Â
Contoh sederhana, Pulau Sumbawa sebagai salah satu pulau di di Propinis NTB, dikenal sebagai sentra produksi jagung nasional. Hasil dari perkebunan jagung milik warga, dikumpulkan dan diangkut dengan kapal lewat Pelabuhan Badas ke Surabaya dan daerah lain di Indonesia.Â
Tak hanya jagung, tapi juga  hewan seperti sapi dan kerbau. Bahkan para pembeli ternak itu datang dari Toraja Sulawesi. Untuk hasil bawang dan hasil bumi lain di migrasikan lewat jalur darat menggunakan truk bermuatan cargo.Â
Lalu lintas ekspedisi yang menggunakan jasa kapal fery turut menghidupkan penyeberangan Sumbawa-Lombok, Lombok-Bali dan Bali-Banyuwangi.Itu hanya salah satu realitas di negeri ini, bahwa perputaran barang dan jasa lintas kabupaten lintas propinsi.
Contoh lain dalam hal pendidikan, mengapa banyak mahasiswa dari daerah pengen kuliah di Pulau Jawa. Meski di luar Jawa ada beberapa universitas yang juga bagus, namun bila dianalisa, lebih banyak yang berniat melanjutkan pendidikan di sana. Realitanya memang secara fasilitas dan keunggulan kolektif lain, jauh lebih baik di Jawa.Â
Belum termasuk dalam skala regional dalam satu propinsi, yang ikut berkontribusi merubah destinasi penghuninya. Ibukota jauh lebih menarik dibanding kabupaten kecil.Â
Itulah mengapa banyak warga dari Pulau Jawa rame -rame ke Jakarta, banyak warga dari Serui dari Wamena ke Jayapura, banyak warga dari Singaraja dari Karangasem ke Denpasar. Alasan ekonomi,alasan kesempatan bekerja dan alasan lainnya sudah pasti.Â
3. Obyek wisata di masing-masing daerah bisa sama kuantitasnya, namun tata kelolanya beda.
Apakah di daerah lain ada pantai-pantai berpasir putih seperti hal nya pantai di Bali atau di Lombok? Yupp...sudah pasti ada. Tapi mengapa analogi liburan harus ke Bali meski terbang sekian jam?
Sudah jauh -jauh datang dari propinsi lain ke  Pulau Dewata,ujung-ujungnya bisa santai di pantai yang pantai-pantai seperti itu bisa ditemukan juga di daerahnya. Pembedanya mungkin di kualitas atau level obyeknya.
Obyek bisa sama, tata kelolanya yang beda. Image Bali sudah begitu bergaung ke mana-mana, menaikkan nilai jual dan daya tariknya. Itu belum ditambah diversifikasi obyek wisata lain sebagai padu padannya dan infrastruktur pendukung, yang turut membedakan.Â
4. Terlokalisirnya pusat negara, pusat pemerintahan dan pusat bisnis di Jawa Sentris, membuat lalu lintas birokrasi dan pergerakan bisnis bolak balik dari Jawa ke luar Pulau Jawa.Â
Berapa banyak dari kita yang kantor pusatnya ada di Jakarta dan Surabaya? Berapa banyak dari barang kebutuhan rumah tangga serta pernak pernik yang dipakai dari kepala sampai kaki, Â kantor besarnya ada di Bandung, Semarang, Jakarta dan Surabaya?Â
Jangan di tanya lagi. Sekalipun ada kantor  wilayahnya di Medan atau di Makasar, itu pun secara struktural dan fungsinya, masih di bawah kantor utamanya di Pulau Jawa.Â
Dengan 4 kondisi di atas, ide WFD bukanlah sesuatu yang  salah. Pertama, sudah pasti orang akan bepergian lintas daerah lintas propinsi. Entah untuk urusan bisnis, pekerjaan, pendidikan  atau birokrasi, para pelintas ini akan menghabiskan sekian hari  atau sekian waktunya di suatu daerah yang bukan tempat tinggalnya.Â
Kedua,kebutuhan rekreasi meski bukan masuk kelompok kebutuhan utama (pangan,sandang, papan), namun dengan berkembangnya teknologi dan gaya hidup, lambat laun menjelma jadi kebutuhan sampingan utama. Apalagi sekarang makna rekreasi tak sekonservatif dulu yang artinya jalan-jalan ke suatu obyek wisata.Â
Para profesional yang  perjalanan dinas ke luar pulau, bisa jadi tak sedikit yang memilih rekreasi wisata malam alias ke tempat hiburan malam. Para pebisnis lintas daerah, bisa juga wisata belanja dan wisata kuliner.Â
Dan menariknya semua bisa dilakukan sembari bekerja dengan dukungan teknologi dan tersedianya fasilitas pendukung, baik di tempat menginap maupun di siapkan secara pribadi.Â
Jadi meski gagasan WFD Â memang menarik, namun dalam hal melontarkan ide, harus dipertimbangkan juga sikon dan waktu. Gagasan sebagus apapun, bila situasi dan kondisi tak mendukung di waktu tersebut,mungkin sebagian lain akan menunda dan memikirkan kembali untuk menerapkannya.Â
Melakukan WFD di tengah angka Covid yang sedang menjulang selepas libur akhir tahun, ibarat menantang badai di tengah laut. Selamat iya, cuma basah kuyup diterjang ombak dan siaga penuh selama perjalanan.Â
WFD iya, tapi capek dan diliputi was -was. Mau berangkat sudah tak tenang, pulangnya juga tak tenang. Kalau begitu, mungkin lebih baik  tak kemana-kemana agar tenang. Meski tenang di rumah, dompet juga belum tentu 'tenang'...Iya kan....hehe.Â
Sekedar berbagi,Â
Salam,Â
07/01/2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI