Siapa Menteri Pertanian kita. anak -anak?Â
Mengenang pendidikan menengah jaman SD, SMP dan SMU, pertanyaan seperti quote di atas pernah  ada. Di dalam kelas tak hanya terpasang foto  presiden dan wakilnya, namun juga sejumlah dewan menteri dan beberapa pejabat negara.Â
Bila tradisi seperti itu diadopsi ke masa sekarang, apakah masih efektif? Wallahualam kawan.Â
Dengan gonta ganti menteri dalam kabinet sepanjang satu atau dua dekade terakhir, bakalan tak ada yang berniat mau ngapalin siapa menteri A, siapa pula menteri B. Jarang bahkan hampir tak pernah dtanyakan juga dalam soal ujian akhir sekolah atau UAN.Â
Selain apa sih manfaatnya bagi siswa, alasan lain yang jadi realitas adalah, fenomena bongkar dan pasang yang terus berulang.Â
Maksudnya begini. Reshuffle bisa terjadi ketika kabinet sudah berjalan, seperti yang hari ini proses pelantikannya oleh kepala negara. Entah apa penyebabnya di geser keluar sejumlah menteri dan digantikan pendatang baru di blantika perkabinetan, hanya presiden dan tim pembinanya yang tau.Â
Bagi saya bila dbilang hak mengganti itu kewenangannya di RI 1, rasa-rasanya tak tepat juga. Memang beliau adalah pimpinan kabinet, tapi memutuskan Si A atau SI B, tentulah tak hanya Presiden sendiri. Negara kita bukanlah kerajaan seperti jaman dulu, dimana raja punya kewenangan absolut.Â
Ada kontribusi suara dari samping kiri, samping kanan, dari atas dan dari bawah, Nah siapa yang di posisi posisi sekeliling Presiden dalam hubungan struktur, nah mereka secara tak langsung juga ngasih hak dalam bentuk pertimbangan -pertimbangan tertentu.Â
Hubungan struktur itu tak hanya dalam struktur kenegaraan tapi juga struktur  lain di luar pemerintahan, yang berperan besar. Salah satunya, secara langsung atau tak langsung, adalah  struktur partai. Karena bagaimana pun, koridor tuk menjadi orang nomor 1, 2 dan seterusnya di negara Indonesia tercinta ini, masih terwakili lewat partai-partai.Â
Kembali pada pelantikan sejumlah menteri di kabinet maju jilid 2, menurut saya sebagai salah satu warga jelata di negeri ini, ada baiknya kita :Â
1. Bersikap biasa aja, jangan 'membesar-besarkan'Â
 Maksudnya membesar-besarkan dalam tanda kutip di atas , bagi saya yang tak terlalu tertarik dunia politik, adalah tidak menggunjingkan dan mempersoalkan mengapa Si A , Si B, Si C atau Si D yang terpilih. Pertama, sebanyak apapun kita ngomong, ibaratnya sampai berbusa -busa pun, mungkin bisa mempengaruhi persepsi warga, tapi tak akan membatalkan pengangkatan dan pelantikan.Â
Karena tak pernah ada dalam sejarah reshuffle (setau yang saya baca). Bila mundur ke beberapa kabinet sebelum nya, dimana setelah di umumkan dan penggantinya siapa, seperti era Kabinet kerja atau Kabinet Indonesia bersatu 2 di jaman Pak SBY, lalu setelah itu karena desas desus tertentu, lalu yang sudah dilantik itu ditukar lagi bulan depannya.Â
Kayaknya ngga pernah terjadi deh. Lagi pula penunjukkan seseorang sudah berdasarkan beraneka pertimbangan termasuk kapabilitas sang menteri.Â
2. Bagi sang menteri terpilih, penujukkan itu mungkin sebuah pencapaian luar biasa dalam karir politik atau karir pemerintahan, tapi bagi rakyat kebanyakan, apa dampaknya bagi mereka belumlah pasti.Â
Ini realitas normal di kalangan bawah. Mempertanyakan apa dampaknya dan hasil yang kelak akan dirasakan. Meski hanya secuil ibaratnya, dari kedudukan seorang pejabat eselon negara yang dipercayakan memimpin sebuah kementerian.Â
Sederhananya adalah warga tak terlalu intens soal reshuffle bahkan mungkin ngga nonton pelantikannya hari ini. Mereka lebih membutuhkan kebijakan yang berdampak langsung terhadap hidup dan kesejahteraan. Â
Bahkan ketika sang menteri terpilih membeberkan rencana, program dan apa saja yang akan dilakukan di kementerian terkait tanggung jawabnya, yang dtunggu oleh warga adalah implementasinya.Â
Karena bila mau jujur dan menanyakan secara langsung, warga kadang tak tau siapa nama menterinya di  kebinet aktual, tapi akan ingat program apa dan kebergunaanya.Â
3. Terlalu sering dibilang jabatan itu amanah, tapi keseringan juga terdengar pejabat menteri tumbang oleh amanah.Â
Ujian terbesar dari kepemimpinan, apapun itu level kepemimpinan nya, adalah kuasa. Diberi amanah berarti diberi kuasa. Â Sudah jelas di dalam amanah itu ada hak dan tanggung jawab.Â
Otoritas yang diemban bisa membawa kebaikan bagi orang yang dipimpin, tapi juga bisa menghancurkan siapa pemimpinnya.Pesan baiknya, yang hampir selalu menyelamatkan mereka yang dihibahkan amanah, adalah tak ada otoritas tanpa integritas.Â
Sudah berapa banyak menteri yang jatuh karena otoritas yang tak terkontrol? Mungkin jumlahnya lebih banyak dari kancing baju kemeja saya. Apalagi mundur ke kabinet sebelumnya, mulai kabinet kerja, kabinet indonesia bersatu, kabinet gotong royong dan seterusnya.Â
Bahkan tak sedikit dari oknum menteri tersebut, yang berurusan dengan hukum. Ironisnya mungkin dulunya di puja puji oleh kita, kala mereka di angkat dan dilantik mengisi kabinet.Â
Coba deh buka deh surat kabar edisi lama, atau time line twitter dan facebook,berita online, terkait pelantikan di kabinet sebelum-sebelumnya. Lihat dan pahami euforia yang terjadi, di waktu itu, di masa itu.Â
Harapan dan doa kita, semoga para menteri pendatang baru ini dapat memulai dengan baik dan menyelesaikan dengan baik. Itu juga secara tersirat seperti yang bapak ibu menteri ikrarkan saat pelantikan.Â
Karena bagi kita mereka 'hebat', tapi bagi mereka kita yang 268 juta warga Indonesia adalah 'beban' di pundak keamanahan.Â
Jadi bagaimana, masih wajibkah kita hapal nama menteri?Â
Hmm....
Salam,Â
23/12/2020, 14.25 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H