Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Iklim Usaha Gas Tipis -tipis, Warga +62 'Longgar' Dikit-dikit

20 Juni 2020   21:12 Diperbarui: 21 Juni 2020   13:19 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Just Sharing....

Bulan Juni 2020 sudah berlalu sekian hari. Apa yang diamati? Sepertinya angin segar mulai berhembus seiring kebijakan new normal. Upaya menormalkan kembali iklim usaha dan mobillitas barang dan jasa. Dampaknya mulai sedikit terasa  dibanding dua bulan atau sebulan yang lalu.   

Saya di kantor juga awal bulan, sudah lumayan banyak pengajuan aplikasi. Dibanding bulan lalu di tanggal yang sama. Ada peningkatan. Padahal divisi kredit malah belum melonggarkan persyaratan. Masih sama seperti Bulan April dan Mei. Yang dapat dibiayai adalah kriteria A, B dan C. Itupun disertai embel -embel : wajib dokumen tambahan. 

Wajar ya. Lantaran sektor jasa keuangan seperti perbankan, finance dan lembaga pembiayaan, memang sedikit goyang dihantam badai corona. Istilah kapal oleng bos memang benar -benar oleng. Miring ke kiri miring ke kanan. Mengapa? Karena banyak nasabah yang tak lagi mampu menunaikan angsurannya lantaran usaha dan penghasilan terdampak pandemi. 

Itu belum termasuk kontrak -kontrak kredit macet, yang sudah berjalan, jauh sebelum Coronavirus melanda. Bad debitur sebelum pandemi malah 'diuntungkan' dengan kondisi ini,  dengan menjadikannya sebagai alasan. Padahal pola pembayaran cicilannya sudah seperti pola formasi pemain bola. Misalnya formasi 4-4-2, empat bulan bayar, empat bulan nunggak, setelah itu cuma bayar 2 bulan. Ada lagi 4-2-3-1. Bayar 4 bulan di depan, setelah itu nunggak lagi 2 bulan sampai 3 bulan dan cuma bayar 1 bulan saja. 

Apakah salah pola di atas? Tidak juga. Tergantung kasus by kasus. Bisa saja cashflow atau faktor lain. Resiko kredit bisa saja terjadi sebelum pandemi. Dan bisa dimaklumi. Namun biasanya,ada sebagian debitur dengan kebiasaan buruk, yang secara penghasilan memadai, namun tak bertanggung jawab atau sengaja dipending.

Pas ada uang mangkir. Pas tak ada uang, alibinya banyak. Sayangnya, nasabah tipe ini, tak mendapat keringanan relaksasi karena program restruktur, sesuai arahan OJK ke hampir semua lembaga pembiayaan, hanya untuk nasabah yang terdampak per Maret 2020, dengan katagori tertentu. 

Di sisi lainnya, pembiayaan ke calon nasabah baru harus terus keluar (pinjaman baru). Kalau perbankan, mungkin mesti bayar bunga kredit untuk debitur yang menaruh dananya dalam bentuk simpanan. Perputaran dana agak sedikit terganggu lantaran pendapatan bunga juga menurun. Multifinance juga terimbas. Karena meski tak ada menghimpun dana layaknya bank, namun kucuran kredit ke nasabah di finance itu, dananya berasal dari bank induk alias joint finance.  

Apalagi hampir semua finance di Indonesia, yang tergabung dalam APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia), adalah anak perusahaan dari bank besar. Entah bank BUMN atau bank swasta. Sebut saja beberapa diantaranya adalah Mandiri Tunas Finance (MTF) yang bernaung dibawah Bank Mandiri, BRI Finance punyanya Bank BRI. Di sektor swasta ada Adira Finance yang adalah anak perusahaan Bank Danamon. Juga beberapa yang lain. Sumber pendanaan berasal dari 'bapaknya' tapi bapaknya juga mau 'anaknya' tetap baik baik, sehat dan harapannya terus bertumbuh meski diiterpa corona. Kalo ikutan sakit, repot juga bapaknya nanti. Sederhananya seperti itu. 

dokpri_pameran bersama APPI_2019_tpsurabaya
dokpri_pameran bersama APPI_2019_tpsurabaya
Salah satu penyebabnya adalah program relaksasi alias restrukturisasi. Kebijakan itu hampir semuanya dijalankan oleh lembaga pembiayaan di bawah OJK. Restrukturisasi banyak dipilih oleh nasabah untuk menunda pembayaran. Pending cicilan sederhananya. Penerapannya bisa jadi berbeda antar lembaga pembiayaan. Dampaknya kembali ke pendapatan bunga yang menurun. Biasanya masuk sekian, realitanya tak masuk atau tetap ada profit namun jumlahnya jauh berkurang. Padahal biaya operasional juga terus terbayar, meski karyawan WFH total atau semi WFH.   

Dengan kondisi profit menurun, pengajuan baru minus, tapi lembaga pembiayaan harus terus hidup ( berdiri). Caranya? ya harus tetap makan alias harus jualan alias harus tetap biayai pengajuan kredit. Dengan kondisi saringan yang ketat dari divisi kredit. Ibarat tubuh, boleh makan tapi makannya yang sehat agar tubuh tetap sehat. Biar ngga sakit karena tak sedikit lembaga pembiayaran yang sudah dirampingkan atau ditutup kantor operasionalnya (entah di tutup sementara atau total tak beroperasi lagi).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun