"Mas. diterima ya, sekedarnya..."
Kutipan di atas adalah kata tetangga saya tadi sore sebelum waktu berbuka. Istrinya yang seorang guru SD itu memasak opor ayam untuk menu berbuka di hari terakhir puasa. Dan sebagai tetangga yang baik, saya dengan senang hati menerima. Meski ada sejumput ketidakenakan di pikiran
Rasa "ndak enak" itu muncul lantaran sudah setahun ini saya diet. Diet (dietary) tidak saja berarti mengurangi porsi makan namun juga bisa bermakna berpantang makanan atau hanya mengonsumsi makanan tertentu. Karena alasan kesehatan, sejak April 2019 saya tak lagi konsumsi daging ayam dan menghindari bahan makanan mengandung santan. Untuk lauk hanya makan (daging) ikan.
Lantaran sudah terpola seperti itu, terkadang untuk beraneka acara dan kegiatan di kantor, baik di cabang maupun di regional atau di pusat, rasa "ndak enak" itu menyeruak manakala suguhan makanan di luar diet. Entah prasmanan model ngambil sendiri, atau nasi kotak yang sudah disediakan oleh panitia, saya selalu berusaha supaya tak terindikasi tak suka.
Sadar bahwa untuk menghadirkan menu makanan, sudah sedemikian bekerja keras teman -teman penyelenggara. Dan tak elok andai saya tak ikut makan sebagai peserta. Apalagi itu sudah dianggarkan dan dikelola dengan luar biasa. Toh cuma sehari. Paling lama tiga harian acaranya. Setelah itu pulang dan kembali kepada menu sehari -hari.
Come to papa alias kembali ke ikan bakar, ikan goreng, ikan kuah, sambal terasi, lalapan, sayur bening dan pelecing kangkung ...Itu aja mutar-mutar. Ngga bosan? Ngga. Irit donk bro ... Eitss, jangan bilang irit. Harga ikan bisa sama bahkan kadang lebih mahal dari ayam atau sapi. Tapi ya sudah namanya komitmen diri terhadap diet, ya dijalani saja. Toh efeknya terhadap badan sendiri ada hasilnya.
Sejak awal tahun hingga hari ini di Bulan Mei, tak ada perjalanan dinas ke luar kota atau luar pulau. Meski Bulan Januari dan Februari belum muncul pandemi Covid-19 dan pesawat masih terbang dengan sukacita di atas langit Indonesia, tak ada undangan meeting atau training selama dua bulan pertama di 2020.
Di satu sisi sedih lantaran SPD (Surat Perjalanan Dinas) itu biasanya ada uang SPD yang jumlahnya walaupun tak banyak, tapi lumayanlah bisa tambah-tambah buat bayar rekening listrik, rekening air, atau buat yang lain. Hehe. Namun ada senangnya juga. Iya tadi itu, dietku terjaga alias tak selingkuh makanan.Â
Memasuki Maret, April dan Mei, ketika Covid-19 migrasi ke tanah air, praktis sudah tak ada lagi. Semuanya pertemuan dan pembahasan apapun, termasuk pelatihan, dilakukan secara virtual. Online online kaya lirik lagunya Bang Saykoji. Di masa pandemi kantor memang tetap buka meski waktu layanan lebih cepat dibanding sebelum pandemi. Di samping belum ada pemberlakuan PSBB di propinsi NTB, untuk industri jasa keuangan juga termasuk dalam daftar perusahaan yang masih dibolehkan untuk tetap buka.
Jadi total sudah 5 bulan kebiasaan selingkuh makanan karena terpaksa semakin berkurang. Adalah sekali di Bulan Januari lalu. Berkunjung ke rumah salah seorang nasabah dan disuguhi sesuatu yang tak masuk daftar diet. Mau nolak, ngga enak. Mau dimakan ngga enak juga. Namun demi menghormati ajakan tulus dari yang sudah menyediakan, ya dikonsumsi saja.
"Enak Mas tahu santannya ? Ini Ibu buat sendiri," masih teringat kata Ibu Nurmi, sebut saja demikian namanya.Â
Ketika mampir ke rumahnya, wiraswastawati berusia 59 tahun itu, yang sehari-hari berdagang jus buah di tengah Kota Sumbawa, memang sudah seperti orang tua sendiri saking dekat dengan kami di kantor.
"Hmm...," saya cuma mengangguk angguk dengan mulut mengunyah opor tahu dengan sayur nangka.
"Tambah lagi ya," tawar beliau.Â
Belum dijawab ya atau tidak, sudah dituangkan beliau sedikit ke piring. Meski wajah saya tersenyum, dalam hati: hancur sudah (dietku) hehe.Â
Pemberian yang baik harus diterima meski....
1. Dalam soal makanan, hampir setiap orang punya pilihan dan selera masing -masing. Jadi tak bijaklah bila dibatasi hanya pada selera pribadi dan mengesampingkan atau memandang dengan rasa tak suka pada makanan kesukaan orang lain. Misalkan saya tak suka makanan berbahan santan.
Itu tidak berarti pemberian makanan (masakan) yang mengandung santan akan ditolak. Tetap diterima dengan baik karena walaupun tak disantap, dapat memberikannya pada orang lain. Misalkan pada saudara, orang tua atau pasangan, dengan menjelaskan apa adanya mengapa diberikan pada mereka.Â
2. Menolak secara langsung kadang bisa melukai secara emosi (dan hati) pada mereka yang memberikan secara tulus. Ini bisa berdampak pada hubungan yang sudah terjalin. Pengecualian pada maaf kata, misalkan makanan yang tak dbolehkan secara keyakinan orang tersebut. Namun bila seseorang mengenal kita dengan dekat, otomatis akan mengenal juga pilihan keyakinan yang dianut. Dengan sendirinya, tak akan ditawarkan makanan (masakan) yang disadari itu bertentangan dengan keyakinan si penerima.Â
3. Sekali -kali tak apa. Maksudnya adalah bila sudah rutin diet sepanjang jangka waktu tertentu , karena situasi dan kondisi, tak ada salahnya menerima pemberian makanan di luar menu diet.Â
Misalnya saat makan bersama dalam acara kantor dan komunitas sosial lantaran tak ada pilihan lain alias wajjib. Catatannya adalah cukup sehari atau dua hari, setelah itu kembali ke menu semula. Tujuannya agar tidak keterusan dan ketagihan rasa, nanti malah lupa sama dietnya. Tubuhmu adalah hadiah dari Sang Kuasa sehingga tahu dan sadar apa yang "dimasukkan".Â
Jadi bagaimana dengan opor ayam tetangga di atas?Â
Hmm...sudah kuhabiskan sesuai nomor 1, 2 dan 3 ini, hehe:)
Selamat Lebaran teman -teman...
Mohon maaf lahir dan batin, termasuk dalam tulisan kali ini bila ada salahnya...hehe
Sumbawa NTB, 24 Mei 2020
01.15 WITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H