Just Sharing..
Beraneka warna dunia media sosial. Mau cari yang baik dan buruk, semua tersedia. Apalagi di antara saudara sebangsa yang lazim disebut warga+62. Cek saja rilis terbaru berdasarkan We Are Social yang menyatakan bahwa pengguna internet di tanah air 175 juta orang. Itu berarti dari total populasi penduduk Indonesia  yang sekitar 272 juta jiwa, hampir 64% nya berpotensi menjadi konsumen media.Â
Entah menjadi penyaji atau penikmat informasi di media sosial, selalu saja hadir berita -berita viral yang seakan menjadi dagangan  menarik. Pelaku, dalam hal ini bisa berarti seseorang atau sekelompok orang, akan membuat sebuah akun. Nama akun bisa nama asli atau abal - abalan untuk maksud tertentu dengan jangka waktu sesuai kebutuhan si pelaku. Tujuannya macam -macam.Â
Seperti hari ini kala membaca unggahan dari Abu Yahya Al Bustamy yang di retweet oleh akun twitter@narkosun.Unggahan perihal 50 daftar pekerjaan yang menurutnya haram namun dianggap halal telah dikomentari 2,6 K warga, di retweet 4,4 K pengguna medsos dan yang likes sudah 4,7K. Entah ukuran halal dan haram nya diacu berdasarkan apa, namun profesi dan para pekerja di bidang yang disebutkan itu, cukup merasa sedikit 'panas' dalam tanda kutip. Â
Dengan kesadaran sebagai sesama anak bangsa, di tengah badai PHK menimpa sebagian para pakerja, rasa -rasanya perlu empati dan toleransi tuk membuat pernyataan di media sosial. Apa motifnya dan apa tujuannya. Sekedar menjadi viral dan memancing perdebatan, ataukah ada niat lain dengan mengunggahnya, Karena jaman sekarang, maaf kata, mau berkhotbah pun bisa via media sosial,
 Lha itu pasarnya, 175 juta orang dari sabang sampai merauke. Luar biasa potensi yang mendengar dan membaca. Ibarat membuat roti, unggahan semacam ini seumpama  ragi yang mengkhamirkan seluruh adonan. Mengembang sempurna.  Setelah masuk oven alias diviralkan ke mana-mana,tinggal tunggu saja hasilnya. Â
Sayangnya, masyarakat kita termasuk omnivora alias pemakan semua infomasi. Mau sehat atau kurang sehat, bila ranahnya sudah menyenggol khalayak umum dan berbenturan dengan kepentingannya, sering memantik perdebatan. Tak lagi menyaring ini benar atau hoaks. Tak pula memperimbangkan apa maksud dan motif dari si pengunggah. Bahkan tak niat menelisik lebih dalam keaslian dari akun tersebut.Â
Saat Mengunggah, Tak Cukup Jempol, Tapi Tambahkan Empati.Â
Empati berdasarkan KBBI adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Dengan makna demikian, ketika seseorang mengunggah bahwa 50 pekerjaan di atas itu haram dan dhalal-halalkan, bisa dikatakan tak memiliki empati pada para pekerja yang bekerja di bidang tersebut.Â
Pertanyaannya adalah apakah si pengungggah tak berhubungan dalam hidupnya sehari -hari dengan beragam profesi yang dituduhkannya itu? Seandainya dia tak sama sekali menggunakan jasa dari profesi yang disudutkannya, bagaimana dengan keluarga intinya? Anak -anaknya? Keluarganya? Jaringan sosial dan jaringan kepentingan dalam kesehariannya? Jaringan bisnis dan profesi nya?Â
Ketika soal -soal yang berkaitan dengan keyakinan dan pilihan pribadi, dipaksakan dalam tanda kutip ke dalam suatu sistem sosial,sudah pasti akan memantik perdebatan dan keriuhan. Bisa jadi karena agama dan pilihan kepercayaan seseorang adalah pilihan orang per orang, Dunia pekerjaan adalah dunia sekuler, bukan kerohanian.Â
Prinsip - prinsip baik dalam kerohanian mungkin dapat diterapkan dalam dunia sekuler, namun membatasi dunia sekuler seperti apa dan pada profesi tertentu saja atas dasar pemaksaan keyakinan, tentu saja sangat sulit diterima secara sosial. Mengapa? Bisa jadi pertama, karena beragamnya pemeluk keyakinan pada warga. Indonesia salah satunya, negara yang berasas bhineka tunggal Ika. Kedua,bidang -bidang profesi tertentu yang ditujukan oleh si pengunggah, sudah ibaratnya tumbuh berkembang dan memberi konstribusi pada masyarakat dan negara.Â
Lewat kontribusi pajak, lapangan pekerjaan, dan 'senggol-senggolan' dengan bisnis dan profesi lain. Maksudnya, bila tak ada sebagian atau seluruh profesi ini di tanah air, bisa berpengaruh secara langsung atau tak langsung pada sistem industrialisasi di masyarakat, yang telah berlangsung bahkan, maaf, jauh sebelum Si Pengunggah dan kita lahir di bumi.Â
Ketiga, terbatasnya lapangan pekerjaaan oleh pemerintah (negara), di tengah dinamika persaingan kerja yang semakin sulit. Apakah Si Pengunggah membaca laporan BPS (Biro Pusat Statistik) tentang kondisi nyata jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja di masing -masing kabupaten dan kota di tanah air sebelum membuat pernyataan seperti itu media sosial? Terlalu sering jari lebih mudah mengetik dari pikiran yang mengerti.Â
Diperlukan empati sebelum membuat unggahan yang berkaitan dengan profesi kebanyakan orang. Menyatakan bahwa sebuah lembaga profesi adalah salah satu yang haram, sudahkah menganalisa sejah mana dampak dan kegunaanya pada masyarakat? Berapa banyak warga di tanah air yang menggeluti profesi yang disudutkannya itu? Berapa banyak tenaga kerja yang tak bikin repot kementerian tenaga kerja, lantaran sudah mendapatkan penghasilan dari bidang -bidang pekerjaan yang mungkin oleh mereka, pemerintah harus berterima kasih karena sudah berkontribusi lewat pendapatan daerah?Â
Keempat, unggahan tersebut akan memantik pertanyaan dan persepsi di masyarakat terhadap mereka yang berprofesi disudutkan itu. Karena eranya media sosial, dikonsumsi oleh segala pengguna tanpa filter kalangan tertentu berupa pembatasan usia, bisa jadi akan dikonsumi oleh anak -anak yang orang tuanya bekerja dan memiliki profesi itu.Â
"Ibu kenapa kerja di situ? Itu kan haram," misal seorang anak yang termakan unggahan tersebut bertanya pada ibunya
" Sayang, kan buat makan dan biaya sekolahmu dan lain-lain. Tumben ngomong sama Mama seperti itu," kata ibunya dengan ekspresi heran
" Itu di media sosial ada Ma," jawab sang anak dengan sedikit rasa bersalah pada Ibunya yang telah membesarkan nya sejak lahir
Tak dapat dibayangkan unggahan semacam ini, termakan hingga ke alam pikir anak -anak dari orang tua yang bekerja bertahun -tahun pada profesi yang disudutkan. Akan ada friksi secara pemikiran, hingga perpecahan dan adu mulut dalam lingkup jaringan sosial di masyarakat. Mulai dari komunitas keluarga hingga komunitas pertemanan. Ujung-ujungnya adalah stigma sosial yang berakhir bulliying.Â
Bila demikian, masih berempati kah masyarakat, saat menunggah pemikiran pribadi yang berkaitan dengan khalayak orang banyak di media sosial. Lepas dari apapun motivasinya, pikirkan dahulu dampaknya. Bila memang tujannya tuk memancing keriuhan dan pumya agenda tertentu, sebagai warga kita mesti waspada agar tidak tepancing.Â
Ternyata empati itu memang berguna dalam segala hal.Â
Salam,Â
Sumbawa NTB, 23 Agustus 2020
19.40 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H