Just Sharing...
Sebut saja namanya Supinah. Bukan nama asli memang. Wanita 40 tahunan itu berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah. Kehadirannya di halaman depan kantor membawa kisah tersendiri bagi saya.Â
Tentang perjuangan membesarkan seorang anak dan pelarian dari masalah rumah tangga. Diantara dua warna dalam hidupnya itu, ada rempeyek di tengah -tengah.
 Kok bisa rempeyek Om ? tanyakan saja pada Mbok Supinah. Perempuan berkulit sawo matang, berambut lurus dengan aksen khas jawa, memang terlihat polos dan apa adanya kala menceritakan lika -liku hidupnya. Ada air mata bercampur kegetiran. Ada luka bercampur kepahitan. Hidup tak adil? Mungkin demikian bagi ibu seorang putri ini.Â
Setahun lalu, dia nampak pertama kali di parkiran kantor. Dari meja saya di ruang depan, saya melihat menembus dinding kaca. Memanggul bakul dan menawarkan ke para satpam yang bertugas di pelataran depan. Rupa fisiknya hampir sama dengan wanita khas Sumbawa. Sebuah pemandangan menarik lantaran hampir dua tahun terakhir, tak ada pedagang model beginian.Â
Terdorong rasa ingin tahu, memaksa saya beranjak keluar.Â
" Jual apa Mbak," tanya saya.
Dia tak menjawab spontan. Hanya menurunkan bakulnya dan mengeluarkan isinya di depan saya.Â
"Ada rempeyek dan pelecing kangkung Om. Rempeyeknya baru dibuat tadi pagi. Pelecingnya juga enak," jawabnya menjelaskan.Â
Terdengar sedikit medok ucapannya. Saya tak bisa memastikan apa wanita ini baru datang dari Pulau Jawa ataukah memang asli dari sana namun sudah lama berdomisili di sini. Bukankah banyak dari kita orang Indonesia, meski sudah merantau lama dan tinggal di daerah lain, namun dialek dan intonasi suara, masih tetap mencirikan suku dan asal daerah.Â
" Sudah lama jualan di sini Mba ?" tanya saya kembali