Just Sharing...
Kemarin saya pulang ke Bali. Ada hal penting yang harus diurus. Sengaja tak naik pesawat. Bukan lantaran harga tiket burung besi itu yang mencapai 700 an ribu sekali terbang. Namun bersamaan jatah cuti juga. Jadi dipikir-pikir lebih praktis naik sepeda motor.Â
Toh berangkatnya juga saya sendiri. Lebih murah, praktis dan bisa singgah di Mataram seandainya mau ke mana-mana dulu di ibu kota pulau seribu mesjid itu.Â
Saya juga tak dikejar waktu karena cutinya lebih dari dua hari. Daripada pesawat PP (pulang pergi) sudah 1,4 juta. Menggunakan kendaraan roda empat juga sami mawon podo wae... Tiketnya 465 ribu sekali nyebrang ke Lombok.Â
Dari Lombok ke Bali pasti jauh lebih mahal karena jarak tempuh lebih lama dan ukuran kapal jauh lebih besar. Ongkos PP-nya bisa ngalahin tiket pesawat. Tapi bila dibayarin kantor mau ya...hehe. Mimpi kali ya.
Berangkatlah saya jam 8 pagi dari Sumbawa. Tiba di Pelabuhan Poto Tano jam 10.00 Wita. Memang rata-rata kisaran dua jam perjalanan. Bila dari Kabupaten Sumbawa Barat waktu tempuh menuju pelabuhan ini kurang lebih satu jam karena jaraknya lebih dekat dibanding dari Sumbawa Besar.Â
Sudah pasti dari Kabupaten Dompu maupun Kabupaten Bima lebih lama jarak perjalanan daratnya karena lokasinya lebih jauh dari kedua kabupaten ini. Betapa vitalnya fungsi Pelabuhan Poto Tano bagi kabupaten dan kota yang ada di pulau terbesar di NTB ini.Â
Sama vitalnya dengan akses jalan yang menghubungkan dari dan menuju ke pelabuhan yang di apit oleh cantiknya Pulau Kenawa dan pantai berpasir putih di sisi-sisi dermaga.Â
Beberapa kendaraan roda empat dan truk sudah lebih dahulu masuk. Seperti biasa, petugas dari dinas perhubungan angkutan laut dan sungai beserta ABK (anak buah kapal) akan mengatur distribusi kendaraan yang masuk.Â
Kemudian menempatkannya serapi dan seaman mungkin untuk menghindari risiko yang dapat terjadi karena benturan ombak dan gelombang saat di atas laut. Jadi ikuti saja arahan saat kendaraan sudah di dalam.Â
Saya lalu bergegas ke dek dua. Kalau di kapal tingkatan lantainya disebut dek. Kapal ferry seperti kita ketahui, dek satu biasanya tempat parkir kendaraan, Dek dua dan seterusnya adalah dek bagi penumpang.Â
Dek paling atas adalah dek awak kapal, termasuk nakhoda beserta staf nya. Untuk kapal ferry yang melayani rute Pelabuhan Poto Tano di Kabupaten Sumbawa menuju Pelabuhan Kayangan di Kabupaten Lombok Timur, ukuran kapal tidaklah besar. Paling banyak tiga dek.Â
Namun untuk luas antar dek tidaklah sama antar kapal. Ada yang lebih luas (atau lebih panjang) berisikan fasilitas bermain bagi anak dan lain sebagainya.Â
Untuk kapal yang saya tumpangi kemarin tidak ada fasilitas seperti itu. Namun bagi sebagian besar penumpang, seperti halnya saya, itu bukanlah yang utama. Yang terpenting adalah keamanan, kenyamanan dan kecepatan.Â
Unik -uniknya penumpang di atas kapal ferry
Total lama perjalanan dari Sumbawa menuju Denpasar rata -rata adalah 12 jam. Prediksi rata -rata di sini adalah bila tak ada tundaan atau antrean dari berangkat sampai tiba.Â
Dari Sumbawa ke Pelabuhan Poto Tano itu 2 jam. Menyeberang dengan kapal ferry ke Poto Tano ke Kayangan rata-rata 2 jam.Â
Perjalanan darat dari Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur menuju Pelabuhan Lembar di Lombok Barat kurang lebih 2 jam. Dari Pelabuhan Lembar menyeberang lagi menuju Pelabuhan Gilimanuk di Karangasem kurang lebih 5 jam.Â
Dari Gilimanuk ke Denpasar kurang lebih 1 jam. Meski rata -rata segitu, namun terkadang bisa jauh lebih lama.
Ini paling sering terjadi karena dermaga di Pelabuhan Poto Tano dan Kayangan cuma ada 2 dermaga. Di Pelabuhan Lembar dan Gilimanuk jauh lebih banyak jumlah dermaga.Â
Sayang lebihnya itu cuma 1 alias 3 dermaga. Jadi kebayang kan kalo di antara pelabuhan-pelabuhan di dua provinsi bersaudara dekat ini salah satunya 'ngambek' alias minta di renovasi atau diservis.Â
Saking lamanya antre masuk dermaga, sampai habis stok kopi dan pop mie di kantin kapal lantaran penumpang pada borong semua buat isi perut sembari nunggu kapal merapat...hehe.Â
Selama perjalanan kemarin, saya mengabadikan beberapa gambar dari para penumpang selama di atas kapal ferry, baik dari Sumbawa menuju Lombok, maupun dari Lombok menuju Bali.Â
Tumben saya melakukannya karena ini sudah kali yang kesekian naik moda transportasi laut ini. Cuma saya berpikir ada baiknya juga saya menuangkannya dalam tulisan karena bisa jadi tipe penumpang yang sama bisa ditemukan di angkutan ferry di penyeberangan lain di tanah air.Â
Kita warga Indonesia, tak hanya satu nusa satu bahasa, tapi boleh jadi satu perilaku dengan kebiasaan yang sama. Demikian juga warga asing yang menjadi penumpang di dalamnya.Â
Tentu sedikit berbeda karena perbedaan budaya. Ada keunikan di dalam kebiasaan. Entah itu baik atau pun kurang baik, kembali kepada sejauh mana kita masing-masing memandangnya.Â
Harapannya sih yang baik dipertahankan, yang kurang baik di kurangi. Syukur -syukur di delete alias di hilangkan, bukan di undo atau di reply ya...hehe.
Ada tujuh kebiasaan yang saya potret, skalanya beragam dari yang patut dicontoh sampai yang (mestinya ngga dilakukan). Apa saja?Â
1. Tidur di atas kursi penumpang, meski penumpang yang lain tak dapat tempat duduk
Dari mana asal kebiasaan ini dan siapa yang memulai, saya kurang tahu. Namun semenjak saya mengenal kapal ferry di zaman kuliah dulu, akhir 90-an hingga awal 2000-an, hal yang pertama saya amati saat naik di penyeberangan Bali-Jawa PP alias Pelabuhan Gilimanuk ke Pelabuhan Ketapang.
Setiap kali liburan, saya mengunjungi kakak yang kuliah di Jogja dan juga satunya yang bertugas di Kantor Pos Kediri Jawa Timur, kantornya tak jauh dari alun-alun di kota rokok itu, di tepi aliran Sungai Brantas.Â
Menggunakan bus malam dari Denpasar (karena harga tiket ngga "semurah" sekarang), saya amati itu terjadi. Hingga penumpang lain ngga kebagian. Padahal sepertinya, hitung-hitungan jumlah tempat duduk di dalam kabin kapal, sudah direncanakan dengan kapasitas penumpang yang akan naik.Â
Insinyur teknik perkapalan dan arsitek yang mendesain ruang dalam kapal sudah menganalisis kurang lebihnya. Namun ada kalanya masih aja penumpang yang berlaku seperti itu. Tahun berlalu, dekade berganti, kebiasaan masih sama.Â
"Oh sudah penuh," kata ibu muda kepada anaknya yang berusia kisaran 6 tahun saat naik bersama saya dari dek 1 ke dek 2 ruang penumpang di kapal ferry di Pelabuhan Poto Tano.
"Masuk aja Bu," ajak saya.
"Di mana kita duduk. Sudah penuh itu Om," jawabnya dalam logat Sumbawa.
Saya melihat bahwa tidak semua kursi itu penuh. Tempat duduk yang seharusnya diduduki dua atau tiga orang, di isi oleh satu orang dengan posisi tertidur. Seakan-akan tanah kapling. Ini punya saya, mungkin demikian di benaknya. Siapa cepat dia duluan.Â
Heran saya, ini kursi penumpang apa rebutan sembako. Penumpang yang naik lebih dahulu ke kapal, seakan-akan lebih berhak menduduki. Yang belakangan harus ikhlas, seperti ibu muda tadi bersama anaknya.Â
Apa emang ada aturan seperti itu, atau hukum tak tertulis. Sudah pasti bukan aturan kru kapal, tapi kebiasaan penumpang. Duh aduhh...
2. Buang sampah di lantai kapal padahal sudah ada tempat sampah
Saat naik kapal dari Lombok ke Bali, salut sama petugas kapal yang menyediakan wadah tempat sampah. Di dek 2 terdapat beberapa dengan tulisan sebagai penunjuk dan untuk memperjelas.Â
Terlihat pula dua atau tiga kantong plastik berukuran besar yang sudah terbungkus dengan isian sampah penumpang. Sepertinya akan dibuang ke darat setelah kapal merapat.Â
Namun biarpun ada pemandangan seperti itu, dengan tujuan secara tidak langsung menyadarkan penumpang, namun masih saja ada yang membuang bungkus rokok, air botol kemasan dan bahan sampah lainnya di atas lantai.Â
Memang perlu lebih dari sebuah kesadaran. Kalau dengan himbauan tidak bisa, mungkin dengan sanksi. Tapi bila dengan seperti itu,mungkin masyarakat (penumpang) belumlah siap. Ujung-ujungnya balik ke kesadaran juga...hehe.Â
Berbicara urusan toilet, memang sudah paling vital ada di transportasi umum yang fungsinya memindahkan banyak penumpang dalam sekali pergerakan. Tergantung lama apa pendek jarak perjalanan dan lama tempuh.Â
Mirisnya, sekalipun toilet kapal itu sudah bersih (meski ngga bersih-bersih amat), persepsi penumpang terhadap kualitas toilet masih dalam tanda kutip "yang begitu-begitu juga".Â
Jadi seperti foto di bawah masih ada botol air kemasan yang dibawa ke urinoir toilet pria (mungkin untuk berjaga-jaga siapa tahu airnya habis atau merasa tidak yakin dengan kebersihan airnya) adalah hal yang wajar dipahami.Â
Mungkin koreksinya adalah setelah digunakan, kok ngga dibuang ke tempat sampah. Ditinggalkan di situ mungkin buat kenang-kenangan....hehe. Sekalian tulis dah di botolnya: I was ever here.... nama plus tanda tangannya haha.
Bisa duduk bersama, anak dan orangtua menikmati makan dengan bekal yang dibawa sendiri atau dibeli sebelum naik kapal, adalah hal yang baik.Â
Berapa banyak dari kita yang masih terkenang momen-momen makan bersama seperti itu kala naik angkutan laut?Â
Tak terlupakan pasti. Ini tak hanya mengacu pada keluarga, tapi bisa juga dengan orang-orang tersayang atau terdekat, teman atau sahabat, kendati makannya mungkin cuma nasi bungkus atau bekal dalam rantang susun hehe.Â
Bukan makanannya yang dikenang, tapi momen kebersamaannya. Lagi pula pada kapal ferry, biasanya tak membatasi bawa makanan dari luar karena kantin hanya menyediakan ala kadarnya seperti kopi, pop mie, dan camilan terbatas.Â
Cuma bila menggelar makan bersama di atas dek kapal, hal nomor 2 di atas hendaknya tidak dilakukan. Bisa-bisa tikar tak dapat digelar lantaran lantainya kotor oleh sampah.Â
5. Ajang ngobrol dan kopi darat antar penumpang
Saat saya ke Korea Selatan Bulan September tahun lalu, saya pergi bersama teman-teman berkunjung ke Pulau Mina yang terkenal sebagai lokasi syuting drama korea terkenal Winter Sonata.Â
Di atas ferry yang membawa kami, tidak ada orang sesama korea atau bangsa lain yang bisa ngobrol 'seenak dan sedekat' kita orang Indonesia. Sepanjang perjalanan dari Bandara Incheon ke Kota Seoul, tak nampak warga duduk ngobrol bersama di warung atau kedai pinggir jalan layaknya di Indonesia.Â
Di atas kapal ferry pun, kita sesama orang Indonesia melakukan itu. Entah sudah kenal lama, atau baru kenalan dan saling sapa di atas laut yang bergelombang hehe, hospitality alias ramah tamah memang sudah ciri khasnya warga 62 juaraaaasal ngga gibah ya hehe.Â
6. Wisatawan asing sebagai penumpang, bisa jadi apa adanya sesuai budayannya
Dalam pelayaran kemarin, saya ketemu Tom dan Julie. Foto di bawah ini adalah foto Julie. Keduanya adalah wisatawan asing.Â
Tom sudah dua kali ke Indonesia, pertamanya di tahun 2016. Kebetulan dia juga suka surfing sehingga menjajal pantai -pantai berombak besar mulai dari Bali, Lombok hingga ke Sumbawa.Â
Pembicaraan dalam bahasa Inggris itu kian akrab ketika dia tahu saya bertugas di Sumbawa. Dia menyebutkan nama-nama pantai di sana yang kebetulan saya juga pernah mampir ke situ kala bersama tim mengunjungi calon nasabah yang domisilinya berdekatan dengan spot menarik itu.
"Surfing, eating, and sleeping," katanya ketika saya menanyakan apa saja yang dilakukan selama liburan kali ini
Nampaknya itu terbawa hingga ke atas kapal ferry. Tom tidur di samping Julie selama dua jam pertama pelayaran dari Lombok. Sementara Julie, mengenakan baju seadanya khas anak muda di sana. Bersantai dan membaca buku, dengan kaki di atas kursi.Â
Pria berusia 27 tahun itu tak masalah ketika saya meminta izin memotret mereka dan mengatakan bahwa ini akan dimuat di blog saya di Kompasiana. Saya lalu menunjukkan pada mereka.Â
Pantai Balangan adalah tujuan surfing berikutnya. Saat kapal bersandar, mereka berkemas dengan papan surfing yang dibawa dari Australia. Berjabat tangan dengan saya dan berharap bisa datang ketiga kalinya ke Indonesia. Hopefully Om Tom...hehe
Kalau yang ini jangan ditanya. Mau di kapal atau dimana, kalau ada pemandangan yang menarik, rugi bila tak diabadikan. Terutama pada mereka yang menyukai foto-foto berlatar laut atau berminat pada pemandangan pantai-pantai di sisi laut.Â
Boleh jadi hasil potretan tersebut akan di upload di status WA atau Instagram untuk menginfokan pemiliknya sedang apa dan di mana. Tak masalah. Bisa jadi media untuk mempromosikan keindahan laut Indonesia dan moda transportasi di tanah air.Â
Cuma saran aja, hati-hati bila selfi di atas kapal. Jangan melanggar yang di larang. Misalnya selfi di buritan kapal atau bergaya khas Rose dan Jack Dawson di Fim Titanic.Â
Repot andai terjadi rIsiko jatuh ke laut. Syukur-syukur ada yang lihat saat jatuh. Bila tak terlihat, bisa panjang ceritanya.... Hehe
Maju terus transportasi Indonesia
Jalesveva Jayamahe,Â
Merah putih tetap berkibar di atas laut
Salam,Â
Dari atas laut Lombok -Bali
22 Februari 2020, 22.00 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H