Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Banjir Sentani dan Tenggelamnya Kampung Halaman Saya

23 Maret 2019   17:21 Diperbarui: 26 Mei 2019   22:39 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada di benak Anda bila melihat kampung halaman yang dulunya indah kini tertutup oleh air? Tempat yang dulunya menyimpan banyak kenangan indah bersama orang tua dan keluarga besar berubah bak rumah ikan atau kerambah di tengah danau. Tidak ada kehidupan,berganti menjadi sepi. Tidak ada penghuni. Tidak ada aktifitas.

Kampung Ayapo Dalam Kenangan

Tanah di halaman depan rumah panggung berderet yang kala dulu menjadi tempat duduk bersama Abu dan saudara - saudara sepupu berubah menjadi perairan karena luapan air danau. Teringat saat masih bocah di sekolah dasar hingga remaja, tanah di halaman depan rumah Abu adalah tempat bermain dan berlarian. Abu dalam bahasa Suku Sentani adalah sebutan untuk kakek atau nenek. Abu perempuan artinya nenek sebaliknya Abu laki -- laki adalah panggilan untuk kakek.

Saat pagi hari, udara dingin dan Abu menyalakan api dari sisa --sisa potongan kayu dan enceng gondok yang dibawa air danau ke daratan., Tepat di bawah rumah panggung Abu yang berpondasi kayu. Lalu kami cucu-cucunya bangun dan duduk mengelilingi lingkaran bara api sambil memandang air danau yang tenang.

Di sore hari, kami membakar ikan (gabus) dan juga ubi dengan bara api yang kami nyalakan. Lauk ikan tersebut kami makan dengan papeda buatan Abu. Papeda adalah bubur olahan sagu, pohon sumber pangan yang dulunya banyak tumbuh di pinggiran danau sentani.

Pertengahan tahun delapan puluhan hingga pertengahan sembilan puluhan, jaman di mana saya bertumbuh dari anak -- anak menjadi remaja, halaman depan rumah Abu adalah tempat belajar. Saya menyebutnya tempat belajar lantaran di sinilah saya belajar berenang. Abu dan bapade mendorong saya lompat dari jendela di rumah Abu lalu belajar mengepak- ngepakkan tangan di air danau.

Bapade (bapa adik) adalah panggilan di Papua kepada adik laki-laki dari papa. Bila saya takut, selang dua hari atau tiga hari kemudian bapade mengajarkan ulang. Orang tua saya membiarkan apa yang dilakukan oleh Abu dan bapade karena anak laki -- laki harus bisa berenang. Apalagi anak sentani.

Selain belajar berenang, Abu laki --laki juga mengajarkan saya menaiki perahu dan mendayung di atas danau. Mulai dari menjaga keseimbangan saat duduk dan ketrampilan memutar dayung saat perahu berada di atas air danau. Jadilah itu menjadi kesukaan saya saat berlibur ke kampung.

Meminjam perahu abu dan mendayung sendiri. Tanpa ditemani siapapun. Dari rumah Abu di tanjung, sampai rumah Tanta di ujung tanjung yang lain. Masih dalam satu Kampung Ayapo. Kadang sendiri mendayung, kadang pula bersama saudara sepupu yang lain. Mendayung perahu ke tengah danau. Lalu melompat berenang dan naik kembali ke perahu. Sangat menyenangkan. What a beautiful memori.

dokpri_dermaga to kampung ayapo 2015
dokpri_dermaga to kampung ayapo 2015

Papa kala itu bekerja sebagai PNS di kantor gubernur (sekarang disebut kantor pemprov). Kami tidak tinggal di kampung,namun di hari libur atau hari raya, papa mengajak kami ke Kampung Ayapo mengunjungi sanak famili. Kebetulan Mama juga berasal dari kampung yang sama dengan papa. Daerah dari Abepura, Padang Bulan, pinggiran Danau Sentani hingga Bandar Udara Sentani sampai ke lokasi terdampak banjir dulunya adalah wilayah Kecamatan Sentani.

Hampir sebagian besar Suku Sentani menetap di sepanjang wilayah ini. Mengikuti garis Danau Sentani yang membentang dari ujung timur hingga ujung barat. Di bawah kaki Gunung Cycloop yang kokoh dan sejuk.

Di suatu waktu yang lain, bila tidak ke kampung, saya menemani orang tua mengunjungi saudara Abu yang rumahnya di bawah kaki Gunung Cycloop. Saya memanggilnya Tete. Tete dalam bahasa panggilan sehari -- hari di Papua sama dengan kakek.

Air dari puncak cycloop yang mengalir di kali (sungai) samping rumah Tete saat itu luar biasa dinginnya. Aliran air dari puncak cycloop juga sampai ke sebuah kali bernama Jembatan Dua yang bermuara ke Danau Sentani. Almarhum papa dulu sering mengajak kami ke sini untuk berenang,sekalian membersihkan mobil.Huk huk...

Tayangan Di You Tube

Beberapa hari yang lalu, saat browsing berita mengenai banjir sentani, saya menemukan video di atas di You Tube karya Jack Okoka. Hati saya bergetar,mengenang kampung Halaman Ayapo. Di video itu, dibagian tengah kampung, berdiri sebuah sekolah dasar. Sekolah yang kini dikepung oleh luapan air danau yang naik ke daratan. Di sekolah itu pernah belajar seorang anak yang sekarang menulis artikel ini.

Saya pernah belajar di SD Ayapo selama setahun. Dari kelas dua SD sampai kelas tiga SD. Setelah papa almarhum, keluarga papa di kampung ini membawa saya dari rumah kami di kota untuk sekolah di sini.

Hanya setahun. Setelah itu saya kembali ke kota, tinggal bersama mama yang membesarkan dan menyekolahkan kami anak-anaknya dengan gaji pensiunan papa yang kami terima sampai saya berusia 25 tahun dan menamatkan kuliah saya di Universitas Udayana.

Saya sedikit sedih menulis tulisan ini. Rasa sesak di dada. Bukan karena Ayapo adalah kampung halaman orang tua saya berasal. Juga bukan karena almarhum papa saya dimakamkan di sana. Tapi Ayapo dan kampung -- kampung lain di sepanjang danau sentani adalah asset pemerintah Kabupaten Jayapura. Aset Papua. Dan Aset Indonesia. Aset yang kini hilang dan tenggelam oleh luapan banjir .

Ayapo adalah gambaran kampung -- kampung lain seperti Putali, Asei, Ifar Besar,Hobong yang kini ribuan warganya mengungsi.Sumber CNN Indonesia merilis pada 20 Maret 2019 kemarin, sudah 25 kampung yang terendam luapan air danau. Warga yang mengungi sudah mencapai lebih dari sembilan ribu orang.

Kemana mereka harus mengungsi kala daerah pesisir danau tempat bermukim leluhur di bawah Gunung Cycloop telah beralih fungsi menjadi pemukiman, toko,swalayan,bangunan bertingkat. Warga Sentani menjual tanah dari Abepura sampai di bawah kaki gunung cycloop kepada pemerintah termasuk pengembang karena mereka tidak pernah berpikir bencana akan datang dan menghalau mereka dari tempat asalnya.

Alih -- alih memikirkan nasib dan masa depan anak cucunya, pengembangan wilayah pesisir danau dan pesatnya arus urbanisasi mau tidak mau mesti merelakan tanah -- tanah adat terjual untuk mengakomodir kebutuhan pembangunan. Parahnya,pengembangan wilayah merembet sampai ke kaki dan lereng Gunung Cycloop.

Aiesh Rumbekwan, Direktur Walhi Papua kepada VOA (voice of amerika) edisi bahasa indonesia mengatakan, banjir yang melanda sentani bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa itu terjadi karena kerusakan tata ruang yang terjadi bertahun -- tahun dan tidak ditindak. Akhirnya, saat terjadi bencana, alam mengingatkan manusia.

Danau Sentani menjadi rumah keberlangsungan hidup bagi ribuan suku sentani dari ujung barat sampai ujung timur.Puluhan bahkan ratusan tahun Gunung Cycloop yang sudah ditetapkan sebagai cagar alam telah menjadi ibu bagi Suku Sentani dan suku asli lain di Jayapura. Menahan laju limpasan air dari puncaknya agar tidak meluap sampai ke danau. 

dokpri_kampung ayapo
dokpri_kampung ayapo
Bila air danau terus meluap, bagaimana anak -- anak bisa terus sekolah? Padahal tidak semua kampung -- kampung itu memiliki bangunan sekolah dari SD sampai SMA. Ada kampung yang hanya memiliki sekolah dasar saja. Untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah ,mereka harus berangkat pagi menyeberangi danau dengan perahu dari kampung ke Sentani. Jarak tempuh kurang lebih 15 menit sampai 40 menit.

Siang atau sore usai jam sekolah, mereka harus balik ke kampung. Pilihannya bila tidak mendayung sendiri dengan perahu, mereka menumpang perahu motor dengan membayar ongkos. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa untuk mendapatkan pendidikan.

Duka Sentani tidak hanya duka papua. Duka sentani adalah duka Indonesia. Duka kawasan cagar alam yang dieksploitasi tanpa kontrol dari pemegang kebijakan.

Cyloop hanya salah satu contoh dari sekian banyak hutan cagar alam yang mengkin sudah 'terluka' di sana sini dan menunggu saatnya untuk menangis dan menumpahkan amarahnya. Bila alam sudah tak lagi bersahabat dengan manusia, kemana kelak kita manusia akan berdiam?


Salam,

Sumbawa NTB, 23 Maret 2019
Putra Sentani di perantauan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun