Saking erat hubungan saling membutuhkan diantara keduanya, proses edukasi harus dilakukan. Meminjam judul lagunya Om Broery Marantika dan Tante Dewi Yull, jangan ada dusta diantara kita, sepatutnya edukasi dilakukan oleh PIC pemberi kredit ke nasabah. Sebaliknya, nasabah juga berperan aktif menanyakan seandainya ada yang diragukan, ada yang tidak dimengerti bahkan ada yang dirasakan : kok begini ya . Tujuannya yaitu supaya jangan ada dusta diantara kitaJ.
Apa itu dusta? Bahasa sehari-hari nya mengingkari perjanjian, mengingkari kesepakatan. Bukankah di masa pra credit nasabah dan PIC pemberi kredit sudah duduk bersama, ketemuan di rumah, sembari ngopi bersama-sama menandatangani perjanjian pembiayaan (kredit) dan menerima penjelasan poin demi poin mengenai hak dan kewajiban masing-masing, lha setelah pasca credit, kok jadi berubah? Ada dusta berarti, entah siapa yang mendustai, siapa yang didustai... hehe.
Edukasi apa oleh PIC pemberi kredit?Â
PIC pemberi kredit seharusnya menjelaskan mengenai detil poin yang penting saat bertemu dan menandatangani perjanjian kredit. Apa saja? Angsuran per bulan itu sudah pasti, yang lainnya adalah denda/ hari, biaya penalti (sekian%) bila melunasi lebih cepat dari jangka waktu yang semestinya.
Biaya penalti ini berbeda antar lembaga pemberi kredit sesuai kebijakan internal masing-masing. Bila melunasi lebih cepat dan tidak ada potongan alias dihitung normal, itu juga harus disampaikan ke nasabah. Jangan nasabah berpikir saya kredit 36 bulan, andai saya melunasi semua di angsuran ke tujuh (bulan ke tujuh), biaya pelunasan lebih sedikit. Ternyata tidak.
Kita miris membaca di media, ada nasabah yang ditarik unitnya karena lalai membayar lalu kemudian membakar diri. Sebagian lain menumpahkan curhatannya, amarahnya atau complainnya via tulisan di media lantaran tidak menemukan solusi saat bermediasi dengan PIC pemberi kredit. Dimana akar masalahnya? Kadang komunikasi sudah dilakukan, tapi beda persepsi menjadi penyebabnya.
Semua sudah tercantum di perjanjian pembiayaan, namun tidak semuanya di mengerti oleh nasabah . Jangankan mengerti, membaca poin -- poin perjanjian yang disodorkan saat penandatanganan saja jarang. Padahal, pada saat nasabah mengajukan pengaduan, poin - poin perjanjian itulah yang sudah di tandatangani oleh nasabah sebagai bukti bahwa nasabah menyetujui apa yang menjadi hak dan kewajiban masing - masing.
Satu lagi yang lebih penting dari semuanya, yang harus sering di ingatkan ke nasabah adalah riwayat pembayaran angsuran yang lancar akan memudahkan pengajuan kredit di tempat lain. Seperti contoh kasus di atas ya.
Kita hidup di jaman serba online, nasabah wajib mengerti lembaga pemberi kredit ( seperti finance dan bank) bisa membuka data rekam jejak pembayaran di manapun, bahkan sampai 10 atau 15 tahun kebelakang.
Saya ingat tahun 2017 lalu, seorang calon nasabah di kantor ber-KTP propinsi lain di luar NTB. Kini beliau dan keluarga sudah pindah ke Sumbawa NTB menekuni usaha yang baru. Saat mengajukan kredit, saya memasukkan data KTP-nya ke sistem, hasilnya beliau pernah menunggak hingga WO (write off) di salah satu finance di sana pada tahun 2007, sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya, PIC kredit menolak pengajuan kreditnya.
Apa peran aktif nasabah?