Bisa jadi dari ketinggian di lantai dua ini Sultan bisa lebih mudah mengamati rakyatnya yang berkumpul di lapangan depan istana.Uniknya lapangannya masih ada sampai sekarang.Â
Di lantai dua ini ada kamar tidur sultan dan permaisuri, ruang kerja sultan, kamar tidur anak putra, kamar tidur anak putri, ruang ketrampilan anak putri bahkan ada satu kamar tidur dinamakan kamar tidur Bung Karno.Â
Ceritanya di tahun 1950 Presiden RI Sukarno pernah berkunjung ke istana ini dan tidur di situ. Kamar kamar di istani ini beserta perabotan di tiap kamar seperti ranjang, meja, lemari dan kursi dibiarkan apa adanya. Tak diganti.
Bahkan di kamar tidur sultan dan permaisuri ada sebuah Al-Qur’an tua milik sultan. Lembaran – lembaran coklat kitab suci itu sudah mulai robek di ujung – ujungnya. Seakan menunjukkan bahwa usianya sudah uzur dan telah digunakan semenjak bertahun – tahun yang lalu.Â
Selain lantai 1 dan lantai 2, masih ada bangunan lain yang menyatu dengan bangunan museum yang tidak sempat saya masuk ke dalamnya. Sudah sore sekitar jam 4 . Kompleks museum ini memang cukup luas dan dikelilingi pagar besi berwarna putih. Halaman depan museum masih ada meriam – meriam peninggalan Belanda. Juga ada maklumat Sultan Bima tertanggal 22 November 1945 yang dibuat menyerupai batu.
 Isinya menyatakan bahwa Kerajaan Bima bergabung di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Halaman samping museum ada semacam beruga (tempat duduk) yang menurut penjaga museum itu merupakan gambaran tempat lumbung padi di masyarakat Bima.
Bila suatu saat berkesempatan datang ke Kota Bima, tidak ada salahnya meluangkan waktu sebentar berkunjung ke museum ini. Letaknya di pusat kota, berdekatan dengan Hotel Lambitu, Hotel Marina dan Hotel Lila Graha.Â
Cukup berjalan kaki bila menginap di ketiga hotel itu. Di depan museum ada sebuah lapangan luas semacam alun – alun yang dinamakan Lapangan Merdeka.Â
Banyak warung makan di sekitar sini. Jarak museum dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin di Kota Bima juga tidak terlalu jauh. Kurang lebih 40 menit. Ada tersedia taksi bandara. Atau mau yang murah meriah, bisa menggunakan  ojek..hehe.
Nilai unik Museum Asi Mbojo mungkin lebih pada sisi bangunannya yang merupakan bekas istana sultan. Tidak banyak berubah walau sudah mengalami beberapa kali pemugaran. Setidaknya itu menurut penuturan penjaga museum dan terlihat dari perbandingan foto asli bangunan istana di masa lalu dan foto bangunan museum di masa sekarang.Â
Agar terus terpatri dan dikenang, nama bandara di Kota Bima pun dinamakan sesuai nama sultan. Tentunya museum ini adalah aset sekaligus objek wisata yang patut dikelola dan dilestarikan dengan baik tidak hanya oleh pemerintah kota tapi juga oleh warganya.
 Salah satu koleksi foto Istana Sultan di tahun 1900 yang kini menjadi Museum Asi Mbojo terlihat tampak meriam -meriam milik Tentara Belanda yang masih ada bekasnya hingga kini. Juga bekas istana sultan dan lapangan itu masih tetap ada. Menjadi saksi bisu adanya Kerajaan Bima di masa laluÂ
Dari Lantai 2 Hotel Lambitu, di  Bima, Nusa Tenggara Barat,Â
kugoreskan tulisan ini,
semoga menjadi kenangan buat CRO dan SPG andai tak lagi bertugas di Sumbawa
 18 April 2015… 18.00 Wita
Penulis : Adolf Isaac Deda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H