Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 Mei 2020 kita memperingati hari buruh internasional. Namun, rasanya hari buruh tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat wabah COVID-19 yang terjadi pada beberapa bulan terakhir.
Apa yang berbeda? Hari buruh identik dengan penuntutan hak pekerja yang disuarakan melalui aksi, namun tahun ini tampaknya tidak terlihat ada aksi akibat diterapkannya PSBB wilayah di beberapa tempat sehingga jalanan sangatlah sepi. Beberapa pekerja mungkin memang diam saja di rumah, tetapi hak pekerja tetaplah harus diperjuangkan.
Wabah COVID-19 memiliki dampak besar terhadap ekonomi global, tak terkecuali Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa para pengusaha dan pekerja pada saat ini sedang memikirkan bagaimana nasib perekonomian untuk kedepannya. Jangankan untuk beberapa tahun kedepan, untuk bulan ini saja banyak perusahaan yang kebingungan terkait pembagian THR (tunjangan hari raya) untuk pekerja. Bulan Ramadan yang merupakan saat dimana para pekerja mendapatkan THR, kini tampaknya hanyalah berupa harapan saja. Bahkan, untuk upah pekerja bulanan saja perusahaan masih harus berpikir keras.
Apalagi di saat pandemi global ini terjadi, banyak perusahaan yang menerapkan work from home (bekerja dari rumah) untuk pekerjanya. Sehingga, banyak pekerja yang malah menjadi resah terkait hak upah yang ia punya. Apakah upah untuk pekerja tetap akan tetap dibayarkan dengan kondisi pekerja bekerja dari rumah, atau tidak?
Terkait hal ini, pada tanggal 17 Maret 2020 telah ditetapkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulanan COVID-19 (“SE Menaker 3/2020”) [1]
Dalam surat edaran tersebut, terkait skema perlindungan upah ada pada poin II SE Menaker 3/2020, yang mana para Gubernur diminta untuk melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19.
Isi dari poin II SE Menaker 3/2020, yaitu sebagai berikut:
- Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
- Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
- Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
- Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Dari poin di atas dapat disimpulkan bahwa dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerjanya.
Hal ini sesuai dengan pengertian upah dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan [2] yang berbunyi:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Sehingga jika ketentuan-ketentuan ini diabaikan, pekerja/buruh dapat menuntut hak atas upahnya sesuai langkah hukum yaitu hukum jika pengusaha tidak bayar upah.