Pernah mendengar pameran seni yang diadakan di tengah pasar? Jika belum, mungkin anda bisa berkunjung ke daerah Cikapundung, Bandung untuk melihat lihat sekumpulan karya foto penuh makna dari para seniman di Indonesia.
Dalam laman instagramnya mereka menjelaskan bahwa “Ruang dimaknai sebagai dimensi spasial yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi waktu (temporal). Seluruh pengalaman manusia akan selalu berlangsung di dalam konteks ruang dan waktu. Waktu terus berjalan secara kronologis dan melahirkan masa lalu, retensi, serta memori. Lalu memunculkan masa sekarang, menumbuhkan kesadaran dan persepsi. Hingga kemudian memproyeksikan masa depan bersama ekspektasi dan visi. Di dalam citra fotografi, ruang direpresentasikan dalam bentuk ilusi tiga dimensi. Sementara waktu dibekukan menjadi fragmen fragmen yang tidak utuh lagi. Sehingga realitas fotografi tentu tidak lagi bisa disamakan dengan realitas yang sebenarnya.”
Setelah menghadiri pameran tersebut pengunjung dapat melihat karya yang dibuat oleh para partisipan festival menyajikan hubungan antara manusia dengan sesamanya, benda maupun suatu objek yang berlangsung di area ruang domestik seperti rumah, kamar, kontrakan, gudang, dan lainnya melalui media fotografi. Mereka menggunakan berbagai macam pendekatan estetik untuk menyampaikan makna dari foto yang dibuatnya untuk memunculkan beragam konteks dan emosi visual.
Salah satu karya yang cukup menarik perhatian saya adalah karya fotografi berjudul ORTEGA yang dibuat oleh Rhoby Ajadeta salah seorang partisipan yang kini tengah menempuh pendidikannya di UPI Bandung. Disini ia menceritakan tentang bagaimana kehidupan sehari hari perkumpulan orang tegal yang tinggal di Bandung dan berprofesi sebagai pedagang nasi goreng.
Foto ini diambil di daerah Gegerkalong, Bandung di sebuah Paguyuban Ortega. Anggotanya merupakan para pedagang nasi goreng yang sedang merantau dari kampung halamannya atau pindah dari tempat rantau sebelumnya.
Macam macam pengalaman dari para Ortega seperti salah satunya ada yang berjualan nasi goreng seharga Rp 4000 saja dan ada juga yang sedang dilatih untuk berprofesi sebagai pedagang nasi goreng di masa depan. Mereka semua tinggal dan hidup bersama di satu bangunan indekos sambil membangun memori bersama dan melakukan regenerasi nilai nilai yang mereka yakini.
Pameran ini mengajak para pengunjungnya untuk menghayati ruang ruang domestik, memaknai ulang hubungan dengan sesama manusia, benda dan memori yang saling terhubung. BPM sendiri sengaja memilih mengadakan pameran ditengah pasar antik sebagai bentuk realisasi keterhubungan antara makna pada berbagai macam foto yang disuguhkan dengan ruang pameran yang ada di tengah pasar dimana tempat berlangsungnya interaksi sosial masyarakat dan berbagai macam aktivitas ekonomi.
Pengunjung bisa merasakan langsung bagaimana suasana yang tercipta terasa begitu hangat. Setelah melihat foto foto yang ditampilkan, perhatian kita akan tertuju pada barang barang antik yang membuat kita teringat pada kenangan bersama orang tua saat masih kecil. Pedagang disana juga terlihat menyambut dengan ramah saat ada pengunjung yang datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H