Ada sebuah idiom yang berbunyi “Seorang penulis yang hebat, berarti seorang pembaca yang baik”. Bagaimana dengan Anda?
Ya, tentu saja. Kembali lagi ke lingkungan. Di kampus, saya diharuskan membaca serta menganalisis bacaan tersebut, baik novel, cerpen, atau puisi. Tapi, jauh sebelum masuk kampus, saya sudah senang membaca.
Di luar Fakultas Sastra —yang setiap hari bersentuhan dengan bacaan dan kepenulisan— bagaimana pandangan Anda, terhadap minat baca mahasiswa saat ini?
Jujur saja angkatan saya berjumlah 30 orang, namun, yang memiliki minat tinggi untuk membaca hanyalah lima orang. Jadi bisa dibayangkan jika di sastra —yang notabene bergelut dengan dunia kesusastraan— minat baca masih minim, bagaimana dengan (jurusan) yang lain?
Sejak Sekolah Dasar (SD), kita telah diajarkan tentang menulis maupun mengarang. Lalu, ketika di duduk di bangku kuliah, banyak mahasiswa yang kesulitan saat harus mengerjakan tugas yang berupa tulisan. Apa faktor yang menyebabkan hal itu?
Hmm... Penyebab yang membuat mereka kesulitan menulis, yah?
Ya, benar!
Ada hubungan sebab-akibat dalam hal ini. Menulis dan membaca adalah Dua mata rantai peristiwa yang saling berkaitan. Bayangkan saja, kita buang air kecil tapi tidak minum. Atau, mau BAB tapi tidak pernah makan.
Dengan membaca, kita menyuplai ide dan pemikiran ke dalam otak. Lalu, saat kita tidak membaca, apa ide/pemikiran yang bisa kita tuangkan menjadi tulisan? Ibaratnya, membaca adalah menabung. Kemudian menulis adalah membelanjakan isi tabungan. Jadi, penyebab dari kesulitan menulis yang dialami oleh mahasiswa saat ini, dikarenakan mereka kurang membaca.
Adakah kecenderungan, media sosial memengaruhi menurunnya minat baca buku seorang mahasiswa?
Dalam kasus ini media sosial tidak salah. Ini hanyalah soal bagaimana kita memanfaatkan media sosial itu. Saya pikir media sosial tidak serta-merta bisa dipandang negatif. Toh, banyak berita maupun hiburan yang bisa kita dapatkan lewat media sosial. Saya menggunakan media sosial, sekadar hiburan semata. Jika kemudian banyak mahasiswa yang menjadikan media sosial sebagai sumber pengetahuan utama (tanpa membaca buku), itu yang salah.
Budaya salin-rekat atau copy paste, kini kian menjamur. Tak dipungkiri jika fasilitas internet yang semakin mudah, turut ambil andil akan hal ini. Tanggapan Anda?
Saya sebagai mahasiswa juga tak jarang menemukan teman-teman yang melakukan hal itu (copy paste). Menurut saya, ini adalah tantangan bagi seorang dosen—bagaimana ia harus teliti memeriksa tugas dari mahasiswanya—meski pada kenyataannya, banyak dosen yang kecolongan.
Budaya copy paste sendiri tak melulu diakibatkan oleh internet. Seperti yang saya utarakan sebelumnya —minat baca yang kurang— membuat suplai ide dan pikiran berkurang. Tak ayal jika banyak (mahasiswa) yang memilih jalan pintas: meng-copy paste karya milik orang lain.
Apakah dosen juga berperan dalam kasus (copy paste) ini?
Jika pencuri berhasil membobol rumah di dalam sebuah kompleks perumahan, lantas apakah kemudian kita serta-merta harus menyalahkan satpam perumahan? Tentu tidak, bukan? Meski tak bisa dipungkiri juga, bahwa pada kasus ini dosen yang kurang kontrol pada (tugas) mahasiswanya.
Apa tips Anda, agar mahasiswa saat ini dapat lebih gemar membaca?
Hal yang perlu saya sampaikan di sini, bahwa saya tidak ingin menyalahkan teman-teman (mahasiswa) yang malas membaca. Sebab, saya terkadang berpikir bahwa sistem di kampus yang membuat mereka menjadi malas membaca.
Maksudnya?
Apakah kampus telah membuat perpustakaan menjadi nyaman? Ataukah, berapa lama perpustakaan di kampus, buka dalam sehari? Perpustakaan di kampus, buka dari pukul 10-12. Kemudian, buka lagi pukul 13-16. Hanya dalam rentan waktu itu, kita (mahasiswa) diberi akses untuk meraup ilmu dan informasi di perpustakaan kampus. Tapi itu di kampus saya.