Mohon tunggu...
A.I
A.I Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Senang membaca, sepakbola, juga bertualang. Saat ini sedang menjalani tahapan industrialisasi pendidikan sebagai: Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Jurnalistik) Semester IV

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hansamu Yama dan Upaya Mengembalikan Sepakbola ke Rumahnya

19 Februari 2017   14:06 Diperbarui: 20 Februari 2017   15:48 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sewarga.com

Bola hasil eksekusi corner kick pemain Indonesia, melayang menuju tiang jauh gawang Thailand. Nampak, bola mengarah pada kerumunan pemain kedua kesebelasan yang ada di depan gawang. Sepintas bola mengarah ke arah pemain Thailand, bernomor punggung 5. Namun di luar dugaan, Pemain Indonesia, bernomor punggung 23 datang dari belakang dan berhasil menyundul bola terlebih dahulu. Bola bersarang telak di sudut kiri gawang Thailand. 2-1 untuk Indonesia.

Adalah Hansamu Yama Pranata—yang berhasil menciptakan gol dan menjadikan Stadion Pakansari Bogor, seolah akan meledak karena gegap gempita sekisar 30 ribu pendukung Indonesia yang memerahkan stadion baru ini.

Hansamu berhasil menyalakan kembali harapan publik Indonesia, yang sempat redup—saat Thailand leading satu gol—sebelum disamakan oleh Timnas Indonesia melalui sepakan Rizky Pora. Asa dan harapan kembali dinyalakan ketika wasit Jumpei Lida asal Jepang, meniupkan peluit panjang pertanda kemenangan Indonesia atas Thailand di final leg pertama AFF Cup 2016, dengan skor 2-1.

Hansamu Yama berhasil menjadi bintang malam itu. Segala puja dan puji, dihaturkan oleh penikmat bola Se-Tanah Air.

Begitulah perputaran hidup pemain yang akrab disapa Yama ini. Jika dia adalah seorang aktor, sudah barang tentu dia wajib diganjar dengan penghargaan setinggi-tingginya—sebab mampu memainkan peran protagonis dan antagonis sama baiknya. Betapa tidak, menjelang AFF Cup 2016 bergulir, arek asli Mojokerto ini duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa karena mencederai Irfan Bachdim dalam sebuah sesi latihan Timnas. Beragam cacian pun harus diterimanya.

Masih terngiang ulah pemuda berusia 22 tahun ini kala (tanpa sengaja) mencederai salah satu striker andalan Timnas. Pencinta bola Indonesia kembali dikejutkan saat Alfred Riedl lebih memilih Yama tinimbang Gunawan Dwi Cahyo, untuk menggantikan Fachruddin Aryanto—yang terkena akumulasi kartu—menghadapi Vietnam di semifinal leg pertama AFF Cup 2016.

Laga semifinal pertama Indonesia melawan Vietnam, menjadi debut pemain berpostur 181 cm ini, di AFF Cup 2016. Interpretasi dari Alfred Riedl dibayar tuntas oleh penampilan menawan pemain yang sempat mengenyam pendidikan sepakbola di SAD Indonesia yang berlatih di Uruguay—yang sekaligus menjadi sebuah antitesis atas kenyataan yang harus diterimanya jelang AFF 2016 digulirkan. Hansamu yang sebelumnya diumpat, dalam waktu kurang dari sebulan sudah menjadi idola baru.

***

Belum usai cerita tentang penampilannya yang cemerlang di ajang sepakbola terbesar se-Asia Tenggara, kini Yama kembali menjadi buah bibir di kalangan penikmat sepakbola Tanah Air. Kisah kontroversial, kembali dinukilkan oleh eks punggawa Timnas U-19 tersebut.

Keputusan Yama untuk tetap berseragam Barito Putera, secara otomatis membuatnya batal berseragam polisi. Sebelumnya, Yama beserta beberapa eks punggawa Timnas U-19 lainnya—mengikuti pendidikan Kepolisian Negara. Seperti anggota polisi pada umumnya, mereka harus taat pada aturan & tata tertib sebagai polisi—maka sudah pasti, pihak Kepolisian berhak memberdayakan tenaga mereka, baik sebagai aparat penegak hukum ataupun sebagai pesepakbola. Maklum, saat ini Kepolisian Negara Republik Indonesia, memiliki kesebelasan Bhayangkara FC—yang berlaga di kasta tertinggi sepakbola Indonesia.

Tak sedikit yang mencibir keputusan Yama ini. Wajar saja, toh sepakbola Indonesia saat ini belum bisa dijadikan jaminan untuk hari tua. Sementara dengan menjadi Polisi, hidup akan lebih terjamin dengan berbagai tunjangan yang menanti.

Selentingan cibiran yang dialamatkan kepada Yama, seakan memperjelas kepada kita bahwa sepakbola kini sudah jauh meninggalkan khittahnya. Unggah ungguh sepakbola yang mengajarkan perdamaiaan, semangat, sportifitas serta kerjasama—kini berganti menghamba pada kapitalisme.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa era sepakbola modern saat ini berhasil menjadi salah satu ladang “menanam uang” oleh kaum pemilik modal. Hegemoni olahraga yang ditemukan di Inggris ini, bahkan menjadi agama kedua di beberapa negara. Tentu hal ini menjadi alat promosi yang efektif bagi para pemilik modal.

Lalu sampai kapan sepakbola terus direcoki dengan imprealisme sponsor yang terus menjauhkan sepakbola dari rumahnya?Bahkan terseret jauh hingga ke pusaran politik!

Toh, uang banyak juga tidak menjamin prestasi. Bahkan banyaknya uang yang berputar dalam dunia persepakbolaan, sangat rawan menjadi pemicu terjadinya skandal pengaturan pertandingan.

Apresiasi dan dukungan juga wajib terus kita berikan untuk Hansamu Yama. Apapun keputusannya, dia adalah salah satu aset berharga bangsa—yang mental dan moralnya perlu terus dijaga.

Perihal pilihannya untuk tetap total di sepakbola, membuktikan dia adalah seorang yang memiliki passion di sepakbola. Lebih dari itu, dia juga memiliki hal yang tidak–atau kurang dimiliki oleh masyarakat bangsa ini: cinta pada pekerjaannya.

Lalu, adakah yang lebih mahal dari cinta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun