Selentingan cibiran yang dialamatkan kepada Yama, seakan memperjelas kepada kita bahwa sepakbola kini sudah jauh meninggalkan khittahnya. Unggah ungguh sepakbola yang mengajarkan perdamaiaan, semangat, sportifitas serta kerjasama—kini berganti menghamba pada kapitalisme.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa era sepakbola modern saat ini berhasil menjadi salah satu ladang “menanam uang” oleh kaum pemilik modal. Hegemoni olahraga yang ditemukan di Inggris ini, bahkan menjadi agama kedua di beberapa negara. Tentu hal ini menjadi alat promosi yang efektif bagi para pemilik modal.
Lalu sampai kapan sepakbola terus direcoki dengan imprealisme sponsor yang terus menjauhkan sepakbola dari rumahnya?Bahkan terseret jauh hingga ke pusaran politik!
Toh, uang banyak juga tidak menjamin prestasi. Bahkan banyaknya uang yang berputar dalam dunia persepakbolaan, sangat rawan menjadi pemicu terjadinya skandal pengaturan pertandingan.
Apresiasi dan dukungan juga wajib terus kita berikan untuk Hansamu Yama. Apapun keputusannya, dia adalah salah satu aset berharga bangsa—yang mental dan moralnya perlu terus dijaga.
Perihal pilihannya untuk tetap total di sepakbola, membuktikan dia adalah seorang yang memiliki passion di sepakbola. Lebih dari itu, dia juga memiliki hal yang tidak–atau kurang dimiliki oleh masyarakat bangsa ini: cinta pada pekerjaannya.
Lalu, adakah yang lebih mahal dari cinta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H