Mohon tunggu...
Faisal Anas
Faisal Anas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbedaan Elektabilitas Jokowi dan SBY Jelang Pemilu

27 Februari 2018   12:22 Diperbarui: 27 Februari 2018   12:41 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI ke-7 Jokow Widodo bersama Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono

Penghitungan elektabilitas Presiden Joko Widodo menjelang dimulainya tahapan Pemilihan Presiden 2019 selalu memperlihatkan penurunan. Hasil survei yang dirilis Lembaga survei Median minggu lalu, memperlihatkan elektabilitas Jokowi turun di angka 35 persen, dari sebelumnya 36,2 persen di Oktober 2017 dan 36,9 persen di April 2017.

Median menyatakan penyebab merosotnya elektabilitas Jokowi karena beberapa faktor, salah satunya kesenjangan ekonomi di Indonesia. Kesenjangan ekonomi sekarang dinilai berbanding terbalik dengan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menejlang pemilu 2009 SBY selalu memuncaki survei-survei elektabilitas dengan angka rata-rata mencapai 67 persen.

Selain itu, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memang belum membuat seluruh rakyat sejahtera. Direktur eksekutif Median, Rico Marbun mengungkapkan penurunan elektabilitas yang terjadi secara konsisten itu selain masalah ekonomi juga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya masalah korupsi, meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan tarif listrik yang tinggi.

Berbicara tentang penyebab turunnya elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres, berikut rangkuman beberapa persoalan yang dapat dijadikan bahan komparasi Jokowi dengan SBY.

1. Kesenjangan Ekonomi

Menurut Robert Chambers (1987) kesenjangan sosial ekonomi merupakan gejala yang timbul di dalam masyarakat karena adanya perbedaan batas kemampuan finansial dan yang lainnya di antara masyarakat yang hidup di sebuah wilayah tertentu.

Sementara dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah ketidakseimbangan, perbedaan, jurang pemisah, yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebijakan pemerintah dapat juga menjadi faktor timbulnya kesenjangan sosial di masyarakat. Pola pembangunan di Indonesia seringkali dikritik karena tidak mempertimbangkan kelola kebinekaan untuk kemajuan dan Kesejahteraan Bangsa.

Pelaku dan penerima manfaat dari pembangunan itu sendiri tidak dianggap penting asal pembangunan jalan. Yang dikejar adalah pertumbuhan karena itu investor diundang untuk menggarap ladang-ladang ekonomi di berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, dan lain-lain.

Pola pembangunan yang tidak inklusif ini menyisakan cacat. Itu ditunjukkan oleh ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.

Rilis BPS pada Agustus 2017 memperlihatkan bahwa pembangunan nasional masih terus memusat di Jawa dan Sumatera yang menyumbang 80,34 persen produk domestik bruto nasional. Pembangunan bukan ditopang oleh sektor penghasil barang yang padat karya tetapi oleh sektor jasa dan keuangan yang padat modal," bebernya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun