Mohon tunggu...
Faisal Anas
Faisal Anas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbedaan SBY dan Jokowi Tangani "Inner Circle"nya

17 November 2017   02:42 Diperbarui: 17 November 2017   04:12 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara harfiah inner circle berarti lingkaran dalam, orang-orang ekslusif yang mempunyai tujuan bersama. Inner circle adalah orang-orang dekat: keluarga, kantor, pemerintah, atau kelompok sosial lainnya.

Seorang tokoh publik atau politisi tentu punya orang-orang dekat dalam dunia mereka. Orang-orang dekat tersebut bisa asisten, ajudan, pengurus di partai politik, pengacara, dan lainnya. Fenomena 'licinnya' Setya Novanto menjadi gambaran bagaimana treatment Jokowi kepada salah satu orang terdekatnya tersebut.

Padahal, sebagai Presiden, Jokowi bisa saja menggunakan powernya untuk segera menuntaskan kasus hukum setnov. Setnov di sini terkesan memeliki kuasa yang lebih besar daripada Presiden sendiri. Penuntasan perkara pun berbelit-belit, mulai dari alasan sakit hingga kecelakaan.

Beberapa bekas politisi Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum dan Nazarudin juga pernah terlibat masalah hukum. Namun Presiden ke-6 RI tersebut tidak melindungi oknum-oknum tersebut.

KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ia diduga menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Proses hukum dan penangkapan mantan Ketua Umum partai Demokrat itu terbilang lancar, tidak ada drama yang terjadi. Saat itu SBY masih menjabat sebagai Presiden RI. Berbeda dengan proses hukum Setya Novanto yang penuh drama. Posisi keduanya sama-sama sebagai Ketua Umum Partai pendukung pemerintahan saat terjerat kasus korupsi.

Keduanya juga terseret kasus korupsi besar, yakni e-KTP dan Hambalang. Anas bahkan dipecat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, karena telah melanggar pakta integritas yang ditandatangani oleh Anas, terkait perbuatan korupsi, suap, melawan hukum dan merugikan negara, kejahatan narkoba, asusila dan pelanggaran berat lainnya.

Lain dengan Anas, Setnov punya nasib berbeda. Hingga kini Ia belum juga ditangkap dan dipecat sebagai Ketum Partai Golkar. Golkar melalui Ketua DPP Nurdin Halid mengatakan bahwa Setnov belum terbukti terlibat dalam kasus e-KTP. Jika sudah terbukti, maka partainya akan memberikan sanksi.

Golkar menilai sebagai negara hukum, praduga tak bersalah adalah salah satu produk hukum yg harus ditaati, dan menganggap bahwa Setnov masih praduga tak bersalah. Ironis sekali melihat perangai sang ketua yang selalu mangkir dari proses hukum.

Selain Anas-Setnov, masih banyak perbandingan perlakuan SBY dan Jokowi terhadap orang-orang terdekat mereka lainnya.  Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan, yang merupakan besan SBY, menjadi tersangka dugaan korupsi aliran dana BI sebesar Rp 100 miliar kepada para mantan pejabat BI dan anggota DPR. SBY tidak mengintervensi kasus tersebut, meski yang terlibat adalah besannya sendiri.

Aliran dana BI memang rawan dikorupsi. Pada April 2017 KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sejumlah pakar menilai ada keterlibatan Ketua Umum PDIP Megawati dalam kasus SKL BLBI. Bagaimanapun, Syafruddin adalah pelaksana dari sebuah peraturan yang memungkinkan SKL diberikan kepada debitur BLBI yang bandel.

Peraturan yang dimaksud adalah Inpres 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Inpres 8/2002 itu ditandatangani Megawati Soekarnoputri, presiden ketika itu, pada tanggal 30 Desember 2002. Mengenai kasus tersebut, Jokowi menunjukan sikap membela Megawati. Jokowi mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Megawati kala itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Jadi, tidak bisa langsung dikaitkan dengan dugaan korupsi yang ada. Jokowi menyarankan untuk bertanya saja ke KPK untuk hal yang lebih detil.

Anehnya, pada saat KPK tengah mengumpulkan bukti-bukti dalam kasus SKL BLBI, Ketua KPK saat itu Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dalam kasus pemalsuan dokumen.

Menurut anak ketiga dari mantan Presiden Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka karena hendak membongkar kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Adik Megawati itu pun menyayangkan sikap polisi yang menersangkakan Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Padahal, Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa jangan ada pimpinan KPK dan Polri yang dikriminalisasi.

SBY yang  sering dikritik  sebagai peragu justru lebih tegas  dan jelas sikapnya dibanding Jokowi dalam soal pejabat yang menjadi tersangka kasus korupsi. Presiden Jokowi pernah ragu dalam menentukan sikap terhadap  calon Kapolri  Komisaris  Jenderal   Budi Gunawan. Padahal  Budi  sudah dinyatakan sebagai tersangka  kasus rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Gagal menargetkan Budi sebagai Kapolri, mantan ajudan Presiden ke-5 RI Megawati itu malah dilantik sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) oleh Presiden Jokowi.

Situasi itu amat berbeda dibanding era Presiden Yudhoyono.  Jauh hari, SBY  menegaskan kesiapannya  bila anak buahnya dijerat kasus korupsi.   Si pejabat itu mesti mengundurkan diri, kalau tidak dicopot jabatannya.

Menteri  Pemuda dan Olaharaga Andi Mallarangeng  merupakan salah satu contoh. Andi dijerat  kasus  proyek Hambalang oleh  KPK.  Ia  akhirnya menyatakan mundur dari kabinet dan dari Partai Demokrat, Jumat, 7 Desember 2012.

Hal itu juga terjadi pada menteri yang lain seperti  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik yang dijerat kasus  suap  proyek migas.   Jero mundur  dari jabatannya pada  September 2014.

Bagaimanapun, setiap pemimpin punya caranya sendiri dalam memperlakukan orang-orang terdekatnya. Jika SBY memilih untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mungkin Presiden Jokowi lebih memilih untuk menunggu, membaca situasi, dan berbicara dengan media untuk menenangkan rakyat yang resah dengan korupsi di negara ini yang tidak tuntas-tuntas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun