Oleh: Faisal Anas
LBH Jakarta mengeluarkan rilis mengecam penerapan pasal penodaan agama pada Ahok. Menurut saya, Amicus Curiae adalah tradisi legal yang bagus dan perlu dilanjutkan di Indonesia.
Tapi begini. Ada yang tak dijelaskan oleh rilis LBH. Kendati benar MK dalam pendapatnya mengakui potensi tafsir terlalu luas yang berbahaya atas pasal penodaan agama; namun MK menolak mencabutnya karena belum ada UU baru yang menggantikan pasal itu, dengan delik yang lebih jelas dan ketat. Undang Undang yang disebut belum ada oleh MK Â adalah UU Hate Speech.
DPR perlu ngebut agar UU tentang Hate Speech segera disusun untuk menggantikan pasal penodaan agama dalam KUHP yang bersifat draconian .
Perlu diketahui, ada beda tajam antara penodaan agama ( blasphemy ) dengan hate speech. Undang-undang atau pasal blasphemy berfungsi melindungi ide tentang kemuliaan agama. Karena fungsinya melindungi ide, dus abstrak, maka secara politik pasal penodaan agama lebih menguntungkan dan lebih sering digunakan oleh kelompok agama mayoritas.
Blasphemy pertamakali diterapkan di Inggris pada masa Katolik sebagai agama mayoritas berhadapan dengan Protestan. Diadopsi oleh Napoleon yang menerapkannya di negara-negara jajahannya. Belanda lalu membawanya ke Hindia Belanda dan memasukkannya ke dalam pasal pasal hatzaai artikelen di KUHP. Dan dilanjutkan oleh Indonesia yang sudah sejak 1945 merdeka kepada rakyatnya sendiri sampai kini.
Menggelikan, Islam di Indonesia dilindungi dengan hukum yang awalnya dibuat Katolik untuk merepresi Protestan. Namun perlu juga diketahui, korban terbanyak dari pasal penodaan agama ini di Indonesia justru datang dari pemeluk agama Islam, yakni orang yang berselisih dengan paham atau aliran Islam mayoritas.
Berbeda dari blasphemy, Hate Speech berfungsi melindungi warga minoritas dari kampanye diskriminasi yang melibatkan kekerasan. Jadi lebih konkret.
Namun perlu diingat, minoritas yang dimaksud adalah minoritas sebagai group sosial -- bukan individual.  Jadi mengatakan "tolak Ahok" atau "gantung Ahok", misalnya, itu  tidak seketika berarti hate speech. Selagi benar bahwa seruan seperti itu bisa dipidana, namun ia tidak mencukupi sebagai hate speech , selama bukan bagian dari upaya mendorong kebijakan diskriminatif.
Hate speech terjadi ketika ada seruan atau kampanye agar negara membuat kebijakan yang bertujuan mendiskriminasi minoritas Tionghoa atau Kristen, misalnya. Hate speech terjadi ketika dalam kampanye itu ada seruan untuk memaksa dengan kekerasan, misalnya agar Tionghoa atau Kristen tidak boleh pergi ke TPS. Contoh lain: kampanye atau seruan untuk melarang dengan kekerasan pembangunan gereja atau vihara.
Kembali pada rilis LBH, Ahok bisa saja diadili dengan pasal penodaan agama. Ini bukan perkara salah atau benar, melainkan politik: pasal itu belum dicabut MK dan masih berlaku sebagai hukum positif.
Pasal itu digunakan oleh MUI untuk menyerang Ahok. Tapi tak perlu kasihan atau bersimpati. Cukup alasan untuk menyimpulkan, kemungkinan besar Ahok sengaja memprovokasi umat Islam dengan Al Maidah 51 untuk kepentingan memenangkan  pilkada DKI.
Persisnya: untuk menciptakan dan menambah loyal voters. Silahkan periksa lembaga survey yang Anda percaya: angka pemilih Ahok dari Kristen, Katolik dan Tionghoa berada di atas 90%. Sementara sekitar 30% Muslim memilihnya.
Padahal, tanpa provokasi itu, belum tentu dia akan kalah. Ingat, promotor dan motor serangkaian demo Islam awalnya menolak Ahok dengan isyu penggusuran dan korupsi. Namun dua isyu itu tidak berhasil membuat gerakan politik yang besar. Situasi ini berubah drastis setelah Ahok memprovokasi dengan Al Maidah 51.
Kita justru harus marah pada Ahok karena provokasinya itu pada kenyataannya memberi jalan pada popularitas dan penguatan Islam Ekstrem, bukan saja di Jakarta namun nasional. Ingat, demo antiAhok berlangsung dimana-mana, bukan cuma di DKI Jakarta. Ingat pula, peserta demo kedua dan ketiga di DKI Jakarta datang dari mana-mana, bukan cuma diikuti warga DKI.
Catat: Belum pernah sebelumnya FPI dan Habib Rizik menjadi sepopuler sekarang dan diterima bahkan oleh kelas menengah. Belum pernah dalam sejarah paska reformasi Habib Riziq sepanggung dengan  Presiden RI.
Semua itu gara-gara petualangan Ahok! Apakah dari Jakarta ekstremisme agama akan menjalar ke kota kota lain di pelbagai provinsi untuk menjadi fenomena nasional? Itu diskusi lain.
Tapi di sini sudah jelas: "kebhinekaan" cuma tameng politik Ahok dari reaksi Islam yang marah terhadap provokasi yang ia sengaja.
(Faisal Anas pernah belajar HAM di Universitas Ivy League di AS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H