Mohon tunggu...
adnan ibra
adnan ibra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi streaming youtube

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Industri Pabrik Karung Goni Delanggu 1934-1968

20 Mei 2023   19:39 Diperbarui: 20 Mei 2023   19:45 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri Pabrik Karung Goni Delanggu 1934-1968

         Klaten merupakan kawasan pertanian dengan tanah yang subur, didukung oleh proses ekologi jangka panjang. Wilayah Delanggu merupakan salah satu wilayah Klaten yang memiliki potensi alam dan lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha perkebunan dan pertanian. Selain budidaya padi, perkebunan tebu, rosela, kapas dan tembakau berkembang pesat di wilayah Delanggu selama abad ke-20. Sejak zaman Hindia Belanda hingga kemerdekaan Indonesia, industri gula dan industri karung goni terus berkembang di Delanggu. Kondisi ekologi dan potensi alam Delanggu berperan penting dalam kemajuan sosial ekonomi masyarakatnya yang menggantungkan hidup pada petani dan buruh.

         Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa wilayah Delanggu merupakan daerah yang subur, ideal untuk perkebunan dan pertanian. Hal ini dikarenakan kondisi ekologi dan letak kawasan Delanggu yang strategis. Salah satu produk yang ditanam di Delanggu adalah rosela yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan karung goni untuk kemasan gula, beras, kopi, dan lainnya. Perkebunan rosela dan pabrik karung yang digarap sejak tahun 1934 merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memaksimalkan potensi ekologis Trangu. Namun cara-cara kolonial yang masih digunakan untuk mengelola industri karung goni Trangu berdampak ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat Delanggu. Selain itu, pemerintah Orde Baru tidak mendukung kebijakan pembangunan industri karung goni Delanggu membuat eksistensi karung goni menurun.

A.   Latar Belakang

     Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda selalu ditentukan oleh arah politik pemerintah yang berkuasa. Kebijakan yang diterapkan dari waktu ke waktu selalu mengikuti perkembangan zaman. Sistem perkebunan dilaksanakan melalui investasi, penggunaan teknologi baru, pengelolaan lahan, dan ketersediaan tenaga kerja di koloni. Hal ini membuat perkembangan perkebunan Indonesia tidak terlepas dari masalah pertanahan dan pertanahan Tenaga kerja adalah elemen utama dari setiap usaha perkebunan.

     Pada awal abad ke-20, Klaten dan Sragen merupakan wilayah Hindia Belanda yang diposisikan sebagai pusat produksi pertanian dan perkebunan. Lokasi Klaten, berkat tanahnya yang subur antara      Surakarta-Yogyakarta, telah menjadi daerah yang produktif dan mendirikan beberapa pabrik gula. Salah satunya terletak di wilayah Delanggu yang produksi tebunya tinggi, dan lokasi yang strategis serta sumber daya manusia yang melimpah di wilayah Delanggu semakin meningkatkan produksi gula di awal abad ke-20. Pada tahun 1930, wilayah Hindia Belanda mengalami masa keterpurukan yang menyebabkan kemerosotan perekonomian. Ini membunuh banyak bisnis perkebunan di Jawa, terutama produksi gula yang tumbuh cepat saat itu. Peristiwa ini juga menjadi salah satu alasan mengapa Pabrik Gula Delanggu ditutup pada tahun 1934 dan berubah menjadi pabrik karung goni. Maksimalkan potensi wilayahh Delanggu.

     Dalam perkembangan selanjutnya, pabrik goni tidak mengalami kemajuan sama sekali, tetapi goni tetap menjadi komoditas penting selama pendudukan Jepang. Pada masa transisi pasca kemerdekaan Indonesia, kondisi politik dan ekonomi negara yang tidak menentu membuat perkembangan industri tersebut menjadi sulit. Bahkan tindakan pemerintah menasionalisasi pabrik tas tidak mampu mengubah keadaan di Delanggu saat itu. Hal ini membuat peran karung goni semakin tergantikan oleh penggunaan karung plastik yang dinilai lebih hemat. Selain itu, penanaman bunga rosella juga tergeser oleh program Revolusi Hijau yang menguntungkan petani.

 B.   Muncul dan Berkembangnya Industri Karung Goni Delanggu

     Pada awal abad ke-20, pabrik gula dibangun karena gula merupakan produk yang sedang naik daun di pasar internasional. Perkebunan tebu dibudidayakan hampir di seluruh wilayah pertanian Klaten, salah satunya berada di daerah Delanggu. Delanggu memiliki perkebunan tebu dan hasil panen yang cukup tinggi untuk memasok daerah lain di Klaten. Namun hingga awal abad ke-20, Delanggul belum memiliki pabrik gula yang mengolah sendiri tebu. Sebelum pembangunan pabrik gula di Delanggu, hasil perkebunan tebu dipasok ke pabrik gula di dalam dan sekitar wilayah Klaten. Pabrik Gula Delanggu berdiri pada tahun 1917 dan sejak saat itu Delanggu telah melakukan kegiatan manufakturnya.

    Depresi ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada tahun 1930 merupakan gejala perekonomian dunia. Di negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda, situasi ini berlangsung lebih lama dan berakibat lebih serius. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda menderita kerugian besar akibat jatuhnya harga dan kelebihan produksi gula. Hal ini memaksa pabrik gula untuk memulangkan beberapa pekerja dan mengurangi upah untuk menekan biaya produksi. Sebagai penghasil gula, Delanggu merupakan salah satu daerah di Hindia Belanda yang merasakan dampak dari depresi ekonomi. Keadaan menjadi begitu serius sehingga pada tahun 1933 pabrik gula Delanggu bangkrut, sehingga berhenti memproduksi gula dan akhirnya harus tutup. Penutupan pabrik gula Delanggu membuat perkebunan tebu terbengkalai dimana masyarakat menanam tanaman pangan seperti padi dan kedelai.

    Pada tahun 1938, pabrik karung untuk pertama kalinya memproduksi karung goni yang dipasarkan untuk gula kemasan, kopi, tembakau, kelapa sawit dan beras. Hingga tahun 1950-an, produksi Pabrik Karung Goni Delanggu mencapai 5.545.000 karung goni per tahun. Namun, pada tahun 1960-an, terutama setelah Gerakan 30 September 1965, produksi menurun menjadi hanya 2.160.000 karung per tahun. Ini didasarkan pada perkiraan produksi tahun 1968 sebanyak 7.500 kantong per hari. Penurunan produksi karung goni dipengaruhi oleh pabrik yang tidak berproduksi pada tahun 1966-1967 setelah pergerakan 30.9.1965 .19 Sehubungan dengan distribusi pabrik goni, Delanggu memiliki konsumen, sebagian besar yang merupakan pabrik. dan perkebunan di kawasan pemukiman kota Surakarta. Seperti halnya produk goni A Twill's/B Twill's bergaris biru sejajar, sebagian besar diserap di pabrik gula Karesidenan Surakarta. Pabrik gula yang menggunakan karung merupakan pabrik yang melanjutkan produksi setelah malaise, seperti  Pg.Ceper, Pg.Gondang Winangun, Pg. Modjo, Pg.Tasikmadu, Pg.Kalibagor dan Pg. Colomadu. Gudang pengeringan tembakau di Gayamprit, Wedi dan Kebonarun (sekarang Perusahaan Perkebunan Nusantara X) juga menggunakan goni untuk mengemas cerutu untuk ekspor. Pabrik karung goni Delanggu juga memproduksi karung goni HC Green yang bercirikan garis sejajar hijau yang digunakan untuk mengemas hasil pertanian. Luas lahan pabrik tas artileri ini kurang lebih 17,7 ha. Terdiri dari ,5 ha bangunan fasilitas di bawah teknik mesin perusahaan.20 Sisanya 13,2 ha digunakan untuk gedung administrasi dan ruang staf, dimana . masih berada di fasilitas pabrik yang sama. kompleks bangunan. Kompleks perbelanjaan mempekerjakan . 2.800 orang . dari 15.567 karyawan yang dipekerjakan oleh perusahaan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun