Mohon tunggu...
Adnan Haz Habibi Marsyaid
Adnan Haz Habibi Marsyaid Mohon Tunggu... Guru - Warga negara

Warga biasa pelukis kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilai Buku dari Covernya, Bukan Isinya

14 Agustus 2019   14:28 Diperbarui: 14 Agustus 2019   14:37 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul di atas adalah versi yang keliru dari versi aslinya yakni "Don't Judge a Book by Its Cover" secara pemahaman artinya yaitu nilailah sesuatu itu baik individu atau pun subjek lainnya dengan pengamatan dalam atau tidak sekilas tidak sekedar judul, untuk mendapatkan kesimpulan yang paling benar dari subjek yang sedang kita perhatikan.

Namun, saat ini pepatah itu pemahamnnya mulai berubah. Menjadi kebalikannya, Perusahaan besar mengelontorkan uangnya untuk menentukan branding yang tepat. Mengganti Logo, mulai dari perusahaan penyedia bahan bakar, perlengkapan elektrik, hingga Klub Sepakbola, demi memperbagus imege-nya. Tercatat Perusahaan BUMN penyedia bahan bakar di Indonesia yaitu Pertamina pada 2005 mengganti logo mereka yang sudah digunakan selama 35 tahun dengan memakan biaya USD 350.000 atau setara Rp. 4,5 Milyar. Hanya untuk mengganti logo saja.

Sebenarnya untuk branding perusahaan yang tergolong mahal itu ada penjelasan logisnya Wakil Dekan 4 Fakultas Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Aditya Yoga bahkan menyebut bahwa perusahaan yang mengubah logo sudah pasti telah lebih dulu memutuskan mengubah perusahaan secara keseluruhan. 

"Karena logo itu bukan branding. Logo hanya bagian kecil dari branding. Mungkin hanya 10 persen. Tapi keseluruhannya adalah branding dari etos kerjanya, dari bagaimana mereka mengucapkan (sapa) di telponnya yang berubah, dari ada istilah 'Pasti Pas'. Itu adalah keseluruhan yang dibayar oleh Pertamina,"

Dengan perkembangan media sosial khususnya Instagram serta Youtube, bermunculan branding branding individu dengan cara acara tertentu untuk meningkatkan popularitas , maka mulailah terkenal istilah "Social Climber" Panjat sosial, Bahasa kerennya Pansos, adalah individu yang ingin mendapat pengakuan dari orang lain baik dengan kontroversi ataupun kejadian setingan semata, platform Instagram dan youtube seringkali menjadi pusat Pansos kekinian. 

Istilah selebgram pun muncul dari kata Selebriti Instagram, Bedanya dengan Artis ? menurut Bogiva Mirdyanto,S.Si Seorang artis yang memiliki, menghasilkan Art karya sangat bagus dan disukai banyak orang, dapat menjadi selebriti karena keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang hebat dan dikagumi orang banyak. 

Namun, untuk menjadi selebriti, belum tentu menjadi artis, karena banyak selebgram yang hanya mendalkan jumlah Folowers agar demi meraup endorse bahkan sampe menghiraukan norma kesopanan dalam postingannya.

Sosial climber menurut penulis berkembang pesat juga tidak hanya dalam ranah media sosial, dalam ranah organisasi agama pun yang kita anggap sakral, banyak branding branding, contohnya menambahi nama nama tertentu pada suatu nama yang telah ada. 

Maka ditengah hirup pikuk branding yang terstruktur dan massif saat ini, agar kita tak tertipu baik secara materil ataupun inmateril maka pepatah "Don't Judge a Book by Its Cover" harus kita benar benar lakukan dari sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun