Keputusan Pemerintah menaikkan tarif PPN 1 persen dari sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 menimbulkan protes dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha hingga buruh.
Meskipun tarif PPN ini hanya naik 1 persen, hal tersebut tentu akan mempengaruhi perekonomian, bukan hanya berdampak pada pengusaha, tetapi juga berdampak pada warga kelas menengah ke bawah.
Oleh karenanya munculnya gelombang protes tersebut bisa dimaklumi.
Pertanyaannya, benarkah kenaikan tarif 1 persen itu akan menekan warga kelas menengah ke bawah, atau malah sebaliknya?
Pendapat itu perlu kita kaji lagi secara komprehensif atau menyeluruh, jangan sampai gelombang protes ini berdampak negatif dan hanya dimanfaatkan untuk tujuan politis.
Sebelum menanggapinya lebih jauh, kita harus memahami dulu apa sih PPN itu, apa tujuannya, apa saja yang kena PPN dan tidak, apa dampak positif dan negatifnya, barulah kita bisa mengambil kesimpulan.
PPN adalah singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, yaitu pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual-beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PPN ini adalah pengganti dari Pajak Penjualan. PPN merupakan jenis pajak konsumsi yang dalam bahasa Inggris disebut value-added tax (VAT).
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, artinya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, kita sebagai konsumen akhir (penanggung pajak) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Pada dasarnya semua barang dan jasa yang mengalami pertambahan nilai dikenakan pajak, namun dalam undang-undang ada jenis barang dan jasa yang dikecualikan, sehingga PPN hanya dikenakan terhadap barang dan jasa tertentu, jadi tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN.