Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita tahun depan sudah ditetapkan sebesar Rp 3.621 Triliun.
Anggaran sebanyak itu tentu diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, APBN tahun depan terdiri dari belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp1.160,1 Triliun, belanja non K/L Rp1 541,4 Triliun dan transfer ke pemerintah daerah sebesar Rp919,9 Triliun.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa keuangan Negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Harus kita akui, anggaran belanja selama ini belum dikelola secara efisien yang berdampak pada terjadinya inefisiensi atau pemborosan.
Selama ini yang paling sering kita sorot adalah korupsi, namun sesungguhnya kebocoran anggaran negara karena inefiensi atau pemborosan, nilainya jauh lebih besar daripada korupsi.
Temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), APBD atau belanja daerah yang tidak efektif dan efisien mencapai Rp141 triliun. Menurut BPKP, ketidakefisienan yang terjadi masih cukup tinggi, jika dirata-ratakan mencapai 53%.
Oleh karenanya dalam seremoni penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) di Istana Negara, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto mengingatkan jajaran pemerintah pusat dan daerah untuk efisien dalam menggunakan anggaran negara, penghematan di semua bidang, dan mengurangi pemborosan.
Presiden meminta seluruh jajarannya, baik di pusat maupun daerah untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat seremonial, terlalu banyak kajian, seminar, dan sebagainya.
Harus diakui memang salah satu penyebab pemborosan anggaran antara lain adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial, seminar, kajian, rapat-rapat di luar kantor atau di hotel, dan tentunya studi banding.