Ada satu momen yang paling saya tunggu-tunggu pada setiap perayaan Maulid Nabi ketika itu, yaitu pembagian ember hias yang berisi nasi ketan dan telur rebus yang beraneka warna. Jika beruntung, biasanya di bagian bawah nasi ketan kita juga bisa mendapatkan sepotong ayam goreng.Â
Ketika dewasa dan merantau ke Ibukota Jakarta, saya tidak lagi pernah merasakan momen perayaan Maulid Nabi seperti masa kecil dulu.Â
Umat Islam di setiap daerah di Indonesia tentu memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam perayaan Maulid Nabi, namun tujuannya sama, yaitu merayakan hari kelahiran nabi sebagai salah satu wujud kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi wa Sallam.Â
Saat ini, meskipun Maulid Nabi tetap dilaksanakan oleh Umat Islam di berbagai daerah, saya merasakan perayaannya tidak lagi semeriah dulu.Â
Hal tersebut tidak terlepas dari munculnya pemahaman yang berbeda di sebagian kalangan umat Islam mengenai perayaan Maulid Nabi dalam belasan atau dua puluh tahun belakangan ini.Â
Perubahan pandangan sebagian umat Islam mengenai perayaan Maulid Nabi tersebut dipengaruhi oleh munculnya pemahaman yang beranggapan bahwa Maulid Nabi yang dirayakan oleh umat Islam selama ini tidaklah memiliki dalil atau landasan dalam ajaran Islam.Â
Menurut mereka yang menolak perayaan Maulid Nabi, perayaan Maulid Nabi tersebut tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya, oleh karenanya perbuatan tersebut bid'ah atau dilarang dalam ajaran Islam. Â Â
Benarkah?Â
Bisa jadi benar, namun tidak mutlak sepenuhnya bisa dikatakan benar.Â
Pemahaman tersebut tentu ditentang oleh sebagian kalangan Umat Islam yang tetap mempertahankan tradisi Maulid Nabi tersebut dengan dalih bahwa perayaan Maulid Nabi sudah dilaksanakan oleh Umat Islam sejak dulu.Â
Pendapat tersebut merujuk pada hadits nabi yang menceritakan bahwa nabi pernah ditanya tentang mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, kemudian beliau menjawab,"Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diangkat menjadi Nabi." (H.R. Muslim).Â
Merujuk pada hadits nabi yang memperingati sendiri hari kelahirannya itu, maka merayakan Maulid Nabi jelas bukanlah bid'ah yang sesat, namun sebaliknya bisa menjadi sunnah yang mendapatkan pahala di sisi Allah yang juga mencintai Nabi.Â
Sesungguhnya nabi tidak pernah memerintahkan atau menganjurkan Umat Islam untuk merayakan hari kelahirannya, namun nabi juga tidak pernah melarang Umat Islam untuk merayakan hari kelahirannya itu.Â
Oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa Maulid Nabi bukanlah kewajiban atau sunnah dalam Islam, sebaliknya Maulid Nabi juga tidak dilarang dalam Islam. Wallahualam.Â
Semuanya kembali kepada Umat Islam. Merayakan atau tidak merayakan Maulid Nabi tidak perlu dipermasalahkan. Baru menjadi masalah jika umat Islam saling membid'ahkan atau menyalahkan hanya karena merayakan atau tidak merayakan Maulid Nabi.
Hal yang paling penting saat ini adalah menjaga ukhuwah islamiyah dengan cara saling menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan masing-masing.Â
Salah satu bentuk kecintaan saya pada nabi adalah dengan menulis buku biografi nabi yang saya beri judul Sang Nabi.Â
Shalawat dan salam untuk nabi dan keluarganya.Â
Allahumma shalli wa sallim wa barik ala sayyidina Muhammad wa ala alih wa shahbih.Â
Selamat Hari Maulid Nabi 1444 Hijriyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H