Secangkir teh manis ini saya foto menggunakan smartphone saya ketika kami akan memulai rapat dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jajarannya di kantor KPK, di Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta pada tanggal 20 Desember 2011.Â
Hadir ketika itu dua komisioner KPK, yaitu Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Pradja, serta Deputi Pencegahan dan jajarannya. Hal yang kami bahas ketika itu adalah progres aksi pencegahan korupsi di instansi pemerintah tempat kami bekerja.
Polemik tentang Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) yang telah disahkan oleh DPR RI itu mengingatkan saya pada pertemuan itu. Banyak pihak yang menentang Revisi UU KPK tersebut karena dianggap melemahkan KPK. Benarkah?Â
Poin-poin penting yang dipersoalkan dalam Revisi UU KPK karena dianggap sebagai pelemahan KPK, antara lain adalah kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif, seluruh Pegawai KPK adalah ASN, dan Pembentukan Dewan Pengawas KPK. Hal tersebut dianggap akan membuat KPK menjadi lembaga yang tidak lagi independen dan bisa diintervensi oleh pemerintah dalam penindakan korupsi. Â
Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum yang juga merupakan salah satu perancang UU KPK tahun 2002 menyatakan KPK saat ini telah menyimpang dari tujuan awal dibentuknya KPK. Menurutnya, tujuan awal dibentuknya KPK adalah untuk mengembalikan kerugian negara secara maksimal dan melaksanakan fungsi "Trigger mechanism" melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Menurutnya lagi, dalam tindakan penyadapan, KPK belum didukung standar operasional prosedur (SOP) eksaminasi penyadapan. KPK juga tidak dapat melaksanakan tugas pengembalian keuangan negara yang maksimal. Kondisi itu diperburuk oleh keberadaan Wadah Pegawai KPK yang justru berfungsi sebagai "Pressure group" terhadap kebijakan pimpinan untuk memaksakan tuntutannya yang justru melanggar disiplin dan UU Kepegawaian. Oleh karenanya, beliau menyatakan setuju dengan Revisi UU KPK Â tersebut.Â
Menurut saya sendiri, berdasarkan pengalaman berinteraksi langsung dengan KPK, penindakan yang dilakukan KPK selama ini sudah cukup baik, sehingga mesti didukung. Namun demikian untuk pencegahan belum maksimal. Â
Menurut saya, pemberantasan korupsi akan lebih optimal dengan pencegahan daripada penindakan. Penindakan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) saja tidak efektif untuk memberantas korupsi. Hal tersebut bisa dibuktikan dari jumlah anggota DPR, menteri, gubernur, bupati, walikota dan ASN yang ditangkap KPK, namun korupsi tidak juga berkurang.Â
Para terpidana dan tersangka korupsi ibarat hanya fenomena puncak gunung es dari maraknya pelaku korupsi yang sudah mengakar dan membudaya di negeri ini. Penindakan dengan menangkap para pelaku korupsi tidak menyelesaikan masalah korupsi karena tidak menyentuh akar masalah korupsi yang sebenarnya, yaitu sistem tata negara dan birokrasi kita yang masih lemah dan perlu pembenahan serius, dalam artian masih terdapat banyak celah dan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Â
Menurut saya, korupsi adalah ibarat wabah penyakit demam berdarah. Akan lebih mudah dan berdampak luas apabila yang kita intensifkan adalah pencegahan agar orang-orang selamat dari penyakit demam berdarah daripada hanya sekedar mengobati orang yang sudah terkena penyakit demam berdarah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H