Mohon tunggu...
Adnan Abdullah
Adnan Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pembaca dan penulis aktif

Membaca, memikir dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vous Habitez a Paris?

8 Maret 2016   16:20 Diperbarui: 8 Maret 2016   23:20 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: www.eanamed.eu"][/caption]Aku baru saja terlelap, ketika deringan ponsel di samping tempat tidurku hampir saja memecah gendang telingaku. Sambil memicingkan mata, aku meraih ponselku itu. Aku mendengar suara parau Francois di seberang sana. 

“Allo! Ahmad?” 

“Hmm…” 

“Comment vas tu?” 

“Ca va, et toi?” 

“Ca va. Tu viens avec nous au cinema, ce soir?” 

Francois, sahabatku di kampus, mengajakku menonton di bioskop malam ini. 

“Non, je ne me sens pas bien depuis deux jours,” tolakku dengan alasan lagi tidak enak badan. 

“Allez! Viens avec nous, quio!” pintanya setengah memaksa. 

Seminggu yang lalu, dia memang sudah berjanji akan mengajak aku, Pierre, dan Hidetoshi untuk menyaksikan film yang sedang booming di seluruh dunia, The Da Vinci Code. Film yang sebagian pengambilan gambarnya dilakukan di Paris. Namun aku juga sudah terlanjur mengajak Sophie untuk makan malam, merayakan hari ulang tahunnya malam ini.

“Ce n’est pas possible, j’ai mal a la tete,” elakku lagi dengan alasan sakit kepala. 

Francois terus memaksa, “Allez!” 

“S’il vous plait, merci.” 

Aku lalu menutup telepon. Aku tidak mungkin mengajak Sophie bergabung dengan mereka. Soalnya dua hari yang lalu, diam-diam aku dan Sophie sudah menyaksikan film itu lebih dahulu. Aku juga tidak mungkin memberitahu mereka kalau aku juga ada janji dengan Sophie malam ini, Pierre pasti akan mencurigai aku ada apa-apa dengan Sophie. 

Pierre adalah sahabat karibnya Cahyo, kekasih Sophie yang lagi pulang ke Jakarta. Meski setahuku, Cahyo tidak pernah cemburu padaku karena dia tahu aku dan Sophie hanya berteman biasa, tidak lebih. 

Sophie adalah guru bahasa Prancisku di Jakarta dulu dan Sophie pula yang membantuku melanjutkan pendidikan ke Paris. Sophie sangat respek padaku karena dia menilai aku adalah muridnya yang paling antusias dan paling cepat mencerna pelajaran yang diberikannya waktu itu. Kami bahkan sering jalan bertiga, jadi Cahyo tidak pernah khawatir kalau Sophie jalan denganku, begitu kata Sophie. Lagi pula Sophie selalu memberitahu Cahyo setiap jalan denganku. Termasuk malam ini. 

***** 

Malam itu aku menjemput Sophie di apartemennya di Rue George Pitard. Sudah setahun lebih, Sophie dan Cahyo tinggal bersama di apartemen itu. Sebenarnya Cahyo adalah pria yang sangat bertanggung jawab, namun Sophie selalu menolak setiap diajak menikah oleh Cahyo. Sophie selalu beralasan belum siap. Baginya pernikahan tidak lebih dari formalitas diatas selembar kertas yang akan membelenggu hak-hak pribadinya. Hmm… Budaya barat dan timur memang berbeda. 

“Hai!” sambutnya ramah. 

Tidak seperti biasanya, malam ini dia mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Dia kelihatan lebih cantik dan anggun malam ini, tidak tomboy seperti biasanya. Baru kali ini aku melihat dia memakai lipstik. Aku menghirup aroma perfumenya. 

“Kita berangkat sekarang, mademoiselle?” tanyaku. 

“Oui, monsieur!” angguknya cepat. 

Setibanya di restoran yang terletak Champs Elysees avenue, seorang pelayan bertubuh tambun menyambut kami dengan ramah. “Bonsoir Monsieur, Bonsoir Madame! Pour deux personnes?” 

Aku dan Sophie mengangguk tersenyum, “Oui.” 

Sang pelayan lalu mempersilahkan kami mengikutinya. “Par ici, Monsieur.” 

Kami mengambil tempat di sudut ruangan yang agak temaram. Kami membuka daftar menu. Aku lalu memesan steak frites, yaitu menu stik dan kentang goreng serta satu porsi ayam. Sedangkan Sophie hanya memesan poulet haricots, yaitu menu ayam dan buncis. Untuk makanan pembuka, kami memilih salad. Untuk minumnya, seperti biasa aku lebih suka memilih air mineral saja, sesuai pesan ibuku. Aku menolak tawaran anggur Beaujolais yang dipesan Sophie. 

“Selamat ulang tahun, ya!” kataku sambil menyerahkan novel Dinding-nya Jean Paul Sartre dalam edisi Bahasa Indonesia yang kubungkus dengan rapi. 

“Merci…” jawabnya sumringah, lalu segera membuka bungkusannya. 

“Gimana?” tanyaku. 

Dia nampak sangat senang. “Merci! Voila ce qu’il me faut!” 

Dia memang senang membaca buku-bukunya Sartre. Dia sudah memiliki novel itu dalam versi bahasa Prancis dan Inggris. 

Sophie Marianne Renata Villeneuve adalah seorang gadis prancis asli yang baik hati dan sangat peduli pada kaum tertindas. Dia lahir di Bordeaux sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari keturunan bangsawan Prancis. 

Diusia 5 tahun, ayahnya yang seorang pengajar memboyong mereka sekeluarga ke Paris. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Paris, dia membaktikan hidupnya sebagai aktivis di Womancare, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak-hak perempuan yang berpusat di London, Inggris. 

Aku pertama kali berkenalan dengannya di CCF Jakarta. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai salah satu staf di Womancare di Jakarta waktu itu, dia masih menyempatkan waktunya untuk mengajar Bahasa Prancis. Aku adalah salah satu muridnya. Aku juga sempat menemaninya ke Serawak, Malaysia, menjemput beberapa korban perdagangan perempuan di sana. Sejak itu hubungan kami semakin akrab, bahkan menurut sebagian orang, terlalu akrab untuk ukuran sekedar teman biasa. Hmm… 

Meski aku sangat mendukung aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak wanita yang tertindas. Aku adalah lawan, bahkan musuh bebuyutannya setiap berdiskusi mengenai wanita. Kami mempunyai prinsip yang berbeda dalam memposisikan wanita. Hal tersebut terjadi karena kami memandang eksistensi wanita dalam perspektif yang berbeda. Dia sangat dipengaruhi oleh pandangan liberalnya yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya, sedangkan aku lebih banyak mengacu pada norma-norma agama. 

Meski dia percaya bahwa Tuhan ada, namun dia tidak pernah tertarik untuk menganut agama apapun. Baginya, aturan dan norma agama hanya akan mengekang kebebasan kita dalam berpikir dan bertindak. Menurutnya, dogma-dogma agama tidak lebih dari propaganda yang menyesatkan. 

Meski demikian, dia bisa menjadi lebih religius dan santun, dibandingkan wanita-wanita berkerudung yang pernah aku kenal. Meski dia seorang bule, tutur katanya sangat sopan, prilakunya santun, dan sangat menghormati orang lain. Bahkan untuk masalah sosial, dia lebih islami ketimbang orang islam sendiri. Hidupnya sederhana, semua yang dilakukannya tanpa mengharapkan pamrih, semata-mata karena keikhlasan. Meski dia tidak pernah mau mengakui kerasulan Muhammad, namun dia telah mencontoh kehidupan yang diajarkan Muhammad, nabinya orang Islam. 

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Sophie menuangkan anggur Beaujolais ke gelasnya. Dia mulai menantangku lagi untuk berdiskusi mengenai wanita. 

“Tadi siang, aku lihat di Canal+, di Jakarta lagi ada demo kaum perempuan menuntut kesetaraan gender,” katanya sambil mengangkat gelas anggur ke bibir tipisnya. 

Aku mengangguk. “Iya, aku prihatin…” 

Tiba-tiba dia tercekat dan langsung meletakkan gelas anggurnya. Kedua bola mata birunya melotot. “Excuzes-moi, Monsieur! Anda salah! Seharusnya Anda bangga!” 

“Bagi saya, pria dan wanita tetap berbeda. Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan bentuk fisik dan non fisik yang berbeda…” 

“Apanya yang berbeda?” potongnya cepat. 

“Pria diciptakan dengan fisik yang relatif lebih kuat, sedangkan wanita diberi organ reproduksi untuk mengandung dan melahirkan. Dalam mengambil keputusan, pria lebih cenderung menggunakan akalnya ketimbang perasaan, sedangkan wanita lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal sehat.” 

“Tidak juga. Buktinya banyak wanita yang bisa menempati posisi yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada pria. Par exemple, Margareth Thatcher, Indira Gandhi, dan Megawati Soekarno Putri. Jangan lupa, aku pernah mengalahkanmu lari menaiki anak tangga di Borobudur!” Sophie tertawa dengan jumawanya. 

Aku mengangguk tersenyum. “Iya, tapi mereka tetaplah wanita, yang lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal dalam mengambil keputusan. Saya tidak menentang wanita mengejar posisi yang sejajar atau melebihi kaum pria, asalkan mereka tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.” 

“Maksud kamu?” 

“Minimal harus ada keseimbangan antara karir dan keluarga. Banyak wanita yang terlalu asyik mengejar karir sampai lupa dengan tugas utamanya sebagai wanita yang ditakdirkan untuk mengandung, merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya sendiri.” 

Sophie menghela napas. “Aku tidak percaya takdir. Aku pikir sulit untuk melakukan balancing. Bagaimanapun, kita harus memilih.” 

“Apa karena itu, kamu selalu menolak lamaran Cahyo?” 

Aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Dia menggeleng, lalu menenggak anggur di gelasnya hingga tandas. Ini untuk yang kesekian kalinya. Aku mulai khawatir, alkohol akan mulai mempengaruhi syarafnya. 

“Kamu sudah terlalu banyak minum, sebaiknya aku antar kamu pulang.” 

Dia mengangguk. Setelah membayar, kami melangkah ke luar. Dia berjalan lebih dulu, namun tiba-tiba tubuhnya sedikit oleng, dia memegang keningnya. Aku buru-buru meraihnya tubuhnya. 

“Kamu kenapa?” 

“Oh, nggak apa-apa, aku baik-baik aja,” elaknya. 

Aku menuntunnya ke mobil. 

***** 

Aku mengantarnya hingga ke kamarnya. Dia tidak pernah minum sebanyak tadi, akibatnya dia sedikit mabuk. 

Sophie tersenyum, “Merci beaucoup.” 

Aku mengangguk, “Istirahatlah. Besok kamu harus ngajar, kan?” 

Dia mengangguk malas. 

Aku pamit, “Bonne nuit.” 

Aku melangkah pergi, namun dia menahanku. “Temani aku malam ini…” 

Aku tertawa dan memencet hidung bangirnya. “Kamu terlalu banyak minum!” 

Aku bergegas pergi, namun secara tiba-tiba dia menarik lenganku. Aku mencoba melepaskan diri, namun cengkramannya sangat kuat. Dia memelukku dan berusaha menciumku. 

“Allez. Aku mencintaimu, Ahmad!” bisiknya manja. Aku menghirup aroma semerbak alkohol dari mulutnya. 

“Mon Dieu! Kamu mabuk. Cahyo pasti akan marah kalau tahu kamu seperti ini!” 

“Zut! Dia tidak mencintaiku, dia lebih memilih mengejar karirnya daripada aku!” Aku mendengar suaranya bergetar. Dia mulai terisak. 

Aku teringat dengan ucapanku padanya tadi, wanita memang selalu mendahulukan perasaannya daripada akal sehat! 

Sophie terus mendesakku dengan dadanya, hingga aku terhempas ke atas tempat tidurnya, tubuhnya menimpaku. Tiba-tiba… Byuuurrr!!! 

Aku tersentak dan terbangun dari mimpi. Aku seperti terguyur hempasan gelombang air laut di pantai Kuta. 

Setelah sadar dari mimpi, ternyata aku tidak sedang berada di Pantai Kuta atau pantai manapun, tapi di atas tempat tidurku sendiri. Aku melihat Sophie berdiri di hadapanku sambil memegang gayung.

“Hah?!” Aku memandang wajahnya lekat-lekat, lalu kupandangi tubuh sintalnya dari atas hingga ke bawah. Dia menjadi salah tingkah dan langsung menegurku. 

“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Tidak biasanya…” 

“Oh, sorry!” Aku buru-buru memalingkan wajah. 

Sophie tersenyum. “Maaf, aku terpaksa membangunkanmu dengan air. Aku sudah membangunkanmu dengan sopan, tapi kamu tidak bangun juga. Barusan kamu mengigau.” 

“Mengigau?” 

“Iya, kamu memanggil-manggil namaku…” 

“Apa?!”

“Di luar ada Cahyo. Aku terpaksa buru-buru membangunkanmu, sebelum dia mendengar kamu memanggil-manggil namaku. Dia bisa cemburu, lho…” Sophie tersenyum lagi. 

Aku merasa pipiku merona merah seperti buah tomat. Aku benar-benar mimpi basah, basah karena diguyur air! 

(Cerita ini hanya fiktif atau rekaan, apabila ada kesamaan kisah, nama tokoh atau tempat kejadian, maka semua itu hanya kebetulan saja)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun