Kesehatan kerja harus mutlak dilaksanakan dalam dunia kerja dan dunia usaha, oleh semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja, pemberi kerja, jajaran pelaksana, penyedia maupun manajemen, serta pekerja yang bekerja untuk diri sendiri (self employed). Hal ini dikarenakan bekerja adalah bagian dari kehidupan dan setiap orang memerlukan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan atau aktualisasi diri, namun dalam melaksanakan pekerjaanya, berbagai potensi bahaya atau factor resiko di tempat kerja dapat mengancam diri peserta atau menimbulkan cedera bahkan bisa menganggu Kesehatan.Â
Potensi bahaya dan risiko di tempat kerja antara lain akibat sistem kerja atau proses kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan yang bersumber dari penggunaan mesin, alat, bahan yang bersumber dari keterbatasan pekerjaanya sendiri, perilaku hidup yang tidak sehat dan perilaku pekerja yang tidak aman, buruknya lingkungan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomik, pengornasian pekerjaan dan budaya kerja yang tidak kondusif bagi keselamatan dan Kesehatan kerja. Â
Bahkan di industri perkebunan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja masih belum terlalu diperhatikan, hal ini terlihat dari masih maraknya kasus kecelakaan kerja pada industri perkebunan. Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 7.891 kasus kecelakaan kerja terjadi di industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia periode Januari 2023 sampai Juni 2023.Â
Dengan begitu terdapat total terdapat 52.766 kasus kecelakaan kerja dialami perkebunan kelapa sawit sejak 2019 hingga Juni 2023.
Sebaiknya, pekerja yang terganggu isu ksehatannya baik itu dikarenakan cacat, cedera, atau terserang virus penyakit yang berpotensi dapat menganggu aktivitas kelancaran kerja yang nantinya akan menurunkan produktitas dan daya saingnya juga akan menurun. Pekerja yang terganggu kesehatannya dapat membahayakan teman kerja atau lingkungan kerja. Sebagai contoh pekerja yang menderita TBC dapat menularkan penyakitnya kepada teman kerja yang lain, pekerja yang buta warna akan meyebabkan korsleting listrik apabila menyambung kabel listrik.
Kesehatan kerja merupakan bagian dari keselamatan kerja yang memiliki tujuan untuk membuat tenaga kerja selamat, sehat, dapat produktif, sejahtera dan memiliki daya saing yang kuat karena hal-hal yang disebutkan diatas apabila dimiliki oleh seorang pekerja dapat memperlancar produktivitas bisnis dan keberlanjutan bisnis. Kecelakaan kerja diminimalisi oleh upaya keselamatan kerja, sedangkan pekerja dijaga, dipelihara dan ditingkatkan oleh upaya Kesehatan kerja.Â
Terdapat beberapa bahaya potensial yang terdapat di dalam lingkungan kerja perkebunan kelapa sawit diantaranya :
1. Kebisingan dalam Pekerja PerkebunanÂ
Rata-rata pekerja di perkebunan kelapa sawit mempunyai pembagian jam kerja terdiri atas 2 shift yaitu selama 8 jam yang memiliki waktu jeda istirahat, jam kerja tersebut juga dipengaruhi oleh hasil panen. Jika hasil panen sedang melimpah maka pekerja bisa melakukan pekerjaan selama 12 jam dalam satu hari selama 7 hari hal ini biasanya berlangsung pada triwulan ke 4. Jika dilakukan perbandingan hasil observasi dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 akan didapatkan hasil sesuai pada jumlah jam kerja karena memiliki jeda istirahat, sementara untuk tingkat kebisingan telah melewati nilai ambang batas yaitu >85 dB.Â
Berdasarkan durasi lama waktu bekerja sudah melebihi untuk satu triwulan tapi untuk 3 triwulan lain nya masih dalam batas standar yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 hal ini jika berlangsung secara terus menerus pada pekerja dapat membuat menurunya fungsi pada sistem pendengaran dan sistem lainnya. Menurut Azmi (2016), gangguan kebisingan yang melebihi ambang batas waktu tertentu dapat membuat gangguan auditory berupa tinitus, tuli sementara dan tuli menetap. selain itu gangguan non auditory juga dapat timbul pada kebisingan yang melibihi ambang batas yaitu gangguan dalam komunikasi, gangguan psikologis, dan gangguan keseimbangan.
2. Iklim Kerja dan Suhu Perkebunan Kelapa Sawit
Menurut Permenakertrans No. PER 13/MEN/X/2011, iklim kerja merupakan hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi. Dengan tingkat pengeluaran dari dalam panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat reaksi pekerjaannnya. Iklim kerja panas adalah pengaruh dari lingkungan kerja yang disebabkan oleh gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi, dan sinar matahari.Â
Orang Indonesia pada umumnya beraklimatisasi dengan iklim tropis yang suhunya sekitar 29C -30C dengan kelembaban sekitar 85-95%. Suhu nikmat sekitar 24C-26C, bagi orang-orang Indonesia. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi kerja dan cara berpikir. Penurunan sangat hebat sesudah 32C, dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannnya. Iklim kerja panas merupakan pengaruh dari lingkungan kerja yang disebabkan oleh gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi, dan sinar matahari. Suhu orang Indonesia pada umumnya beraklimatisasi dengan iklim tropis yang suhunya sekitar 29C -30C dengan kelembaban sekitar 85-95%. Suhu nikmat sekitar 24C-26C, bagi orang-orang Indonesia. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi kerja dan cara berpikir. Penurunan sangat hebat sesudah 32C.
3. Pencahayaan
Menurut PERMENKES No. 70 tahun 2016 syarat faktor pencahayaan disarankan berdasarkan jenis area, pekerjaan atau aktivitas tertentu. Persyaratan pencahayaan lingkungan kerja dapat berupa persyaratan pencahayaan dalam gedung industri, Persyaratan pencahayaan di luar gedung industry dan persyaratan pencahayaan lingkungan kerja dinyatakan dalam satuan Lux.Â
Pencahayaan yang tidak memadai pada lingkungan kerja dapat menyebabkan beberapa masalah yang dapat merugikan seperti pada aspek psikologis, yang dapat dirasakan sebagai kelelahan rasa kurang nyaman, kurang kewaspadaan sampai kepada pengaruh yang terberat seperti kecelakaan. Pencahayaan dalam ruangan, khususnya di area tempat kerja yang tidak memenuhi persyaratan dapat memperburuk penglihatan, pencahayaan yang terlalu terang atau pun lebih redup, pupil mata harus berusaha menyesuaikan cahaya yang diterima oleh mata. Berbagai permasalahan dapat timbul karena kualitas intensitas penerangan di tempat kerja tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Intensitas penerangan yang kurang dapat meningkatkan potensi kecelakaan kerja, keluhan yang tampak dapat berupa kelelahan mata, daya akomodasi menurun, konjungtivitis.
Aktifitas pekerjaan lain yang mempunyai bahaya potensial tingkat risiko sedang adalah pemupukan. Pada kegiatan ini, aktifitas yang dilakukan adalah memberikan pupuk ke pohon sawit dengan bahaya potensial biologi terpatuk ular berbisa. Hewan berbahaya juga banyak ditemukan di perkebuanan sawit karena sengaja disebar untuk membasmi hama tikus yang akan merusak buah sawit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan ini adalah menggunakan safety boot untuk menghindari patukan ular.Â
Selain itu dalam melakukan pemupukan harus menggunakan sarung tangan dan masker guna menghindari paparan bahan kimia dari pupuk tersebut. Identifikasi bahaya potensial adalah sebuah dasar dari pengelolaan keselamatan kerja modern. Program pengelolaan ini disusun atas berdasarkan tingkat risiko yang ada di lingkungan kerja. Gangguan kebisingan yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan beberapa ganggaun baik berupa auditorik maupun non auditorik yang melebihi ambang hal ini bisa di minimalisasi dengan penggunaan alat pelindung diri berup ear-muff ataupun ear plug.Â
Iklim kerja yang tidak ramah untuk tubuh dan suhu panas dapat menyebabkan beberapa akibat antara lain seperti dehidrasi, badan mudah lelah, nyeri kepala dan sebagainya, hal yang dapat dilakuka untuk meminimalisasi hal ini dengan memenuhi kecukupan kalori sesuai beban kerja, asupan cairan yang banyak (minimal 8 gelas/hari), tidak terlalu dekat dengan alat yang meghasilkan uap  atau udara panas dan menggunakan pakaian berwarna terang untuk menghambat dan dan menurunkan efek panas radiasi ke tubuh. Pencahayaan yang tidak sesuai dapat menyebabkan ganguan pada penglihatan seperti kelelahan mata, daya akomodasi menurun, dan konjungtivitis, jika ini terus dibiarkan tanpa intervensi seperti penambahan lampu dengan intensitas cahaya yang disesuaikan dengan persyaratan tingkat pencahayaan, dan memastikan setiap pekerja mendapatkan penerangan yang sesuai dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Satrija B. Wibawa, menanggapi K3 harus terus ditanamkan di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kunci keberhasilannya tidak hanya bidang bisnis saja tetapi disiplin dilaksanakan sehari-hari di lingkungan kerja perusahaan.
"Pemahaman kerja keras di perkebunan kelapa sawit sering diartikan mendapat hasil sebesar-besarnya tetapi mengabaikan keselamatan kerja. Dengan 17 juta tenaga kerja baik langsung dan tidak langsung GAPKI akan memberi perhatian serius pada K3," ujarnya.
Pekerja tidak sekedar mendapat hak-hak minimunnya tetapi disadarkan untuk peduli pada K3. Sejak awal harus ada koordinasi dengan serikat pekerja soal pentingnya K3, samakan pemahaman dan isu mana yang diprioritaskan.
Satrija B. Wibawa berharap anggota GAPKI bisa memenuhi standar K3 kemudian lebih lanjut, sehingga produktivitas dan pendapatan pekerja mencapai optimal. K3 bersifat wajib dalam sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sehingga tanpa ini tidak dapat sertifikasi tersebut.
"Kebun kelapa sawit sekarang seperti permaisuri atau ibu negara yang dituntut selalu sempurna. Sehingga ada cacat sedikit saja langsung jadi berita besar dan digeneralisir seolah-olah semua seperti itu. Ini merupakan tantangan yang harus dijawab dan bukan dihindari. Buktikan kelapa sawit terus bertumbuh dengan hal yang positif," ujarnya.
Maka diharapkan untuk kedepannya industri perkebunan kelapa sawit mulai bisa menerapkan K3 pada perusahaannya dan jika sudah sudah menerapkan diharapkan dapat ditingkatkan dalam penerapannya, seperti pencegahan serta mengurangi penyakit akibat kerja dan meningkatkan fatalitas di tingkat perusahaan dan masyarakat sekitar perusahaan. Selain itu juga peningkatan pengarusutamaan K3 dalam kebijakan perusahaan melalui sistem manajemen K3 tingkat perusahaan, penguatan kelembagaan penyelenggara K3, perubahan pola perilaku pekerja, dan peningkatan kepatuhan peraturan perusahaan pada penyediaan kelengkapan pelindung diri di tingkat perusahaan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H