Oleh: Bandeh Khudo
Kosa kata “tasawuf” dan “irfan” dalam banyak karya tulis digunakan dalam arti yang sinonim. Malah sebagian ulama menganggap bahwa tasawuf sinonim dengan irfan Islami. Oleh karena itu, mereka tidak membenarkan penyandaran kata itu kepada selain Islam, seperti tasawuf Kristen, tasawuf Yahudi, dan tasawuf India.
Ajaran irfan semestinya sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran irfani. Ya, tidak seluruh irfan memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.
Atas dasar ini, irfan memiliki dua klasifikasi: irfan agamis dan irfan non-agamis. Sebelum ajaran Islam datang, seluruh jenis irfan ini pernah ada. Dalam ajaran Zoroaster dan Kristen, kita masih dapat menemukan urat-urat nadi ajaran-ajaran irfani. Dalam ajaran Budha yang tidak bisa kita sebut sebagai agama, kita juga masih dapat melihat urat-urat nadi ajaran-ajaran agama.
Atas dasar ini, kita dapat berasumsi bahwa irfan telah dilahirkan bersama agama. Akan tetapi, irfan tidak sama dengan agama. Dengan demikian, irfan sudah sejak dulu sebelum Islam muncuk ke permukaan, khususnya dalam aliran Stoicisme, Cynicisme, dan area peradaban Helenik; yakni Athena, Roma, dan Yunani. Di arean peradaban inilah, Plotinus dan para pengikut aliran Neoplatonisme mengerahkan tenaga untuk mempelajari masalah ini. Mereka berhasil mewujudkan sebuah pandangan irfan. Bapak seluruh pemikiran ini adalah Plato. Hal ini berlanjut hingga agama Islam muncul.
Irfan dalam ajaran Islam memiliki beberapa periode:
1. Dari sejak Al-Quran diturunkan hingga permulaan abad ketiga, irfan banyak memiliki dimensi zuhud. Pada periode ini, kita hanya mendengar banyak para pembesar zahid. Di sini kita tidak pernah mendengar terminologi arif. Abu Hasyim Kufi, Hasan Bashri, dan lain sebagainya kita sebut sebagai para zahid agung.
2. Dari sejak permulaan abad ketiga, ajaran zuhud mulai mengenal dan bertabrakan dengan ajara-ajaran lain yang sedang berkembang di Yunani, Iran, India, Mesir, dan tempat-tempat lain. Dengan pertemuan ini, ajaran zuhud memiliki ajaran gabungan dan mulai bergerak ke arah irfan. Ada satu kriteria utama yang merupakan ajaran zuhud menjadi irfan. Dalam ajaran zuhud, seluruh tolok ukur adalah rasa takut kepada Allah. Sedangkan dalam irfan, barometer utama adalah kecintaan kepada Allah. Pada hakikatnya, dari sejak Hallaj, Rabi’ah, Sibli, Bayazid, dan tokoh-tokoh yang lain melontarkan konsep “kecintaan kepada Allah”, irfan Islami mulai muncul dan tersebar luas di kalangan masyarakat.
Tidak diragukan lagi, kondisi sosial, historis, politik, dan kemasyarakatan kala itu sangat mempengaruhi masalah ini. Kala itu, pondasi utama kemunculan agama Islam adakan keadilan dan tauhid. Muslimin pada abad kedua dan ketiga Hijriah melihat agama yang berkembang kala itu sangat berbeda dengan agama yang pernah dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai contoh, kelakukan, ucapan, dan perilaku para penguasa dari Dinasti Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah tidak serupa sama sekali dengan ucapan dan perilaku Rasulullah saw. Melihat semua ini, masyarakat akhirnya memiliki kecondongan kepada ajaran irfan dan mencari hakikat Islam sejati yang spiritualnya tidak bergantung kepada kegemerlapan dunia.
Realita ini adalah faktor utama mengapa irfan Islami tersebar luas. Banyak periode yang juga telah dilalui oleh perkembangan irfan ini.
Irfan Islami dalam Sejarah