Beberapa waktu lalu, civitas pendidikan tinggi (PT) dibuat terhenyak oleh tulisan Prof Sudaryono yang berjudul "Bunuh Diri Masal Perguruan Tinggi Menuju Pendidikan Asembling" yang dimuat di Kompas 29 Agustus 2017.
Dipicu oleh Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun, (termasuk ijazah dari PT), Prof Sudaryono menawarkan 2 model dua arus utama; (1) PT yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery dan (2) PT yang melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit (assembling) yang sangat dibutuhkan oleh industri. Karena membutuhkan kemampuan yang tinggi, namun jumlah kebutuhannya sedikit, PT Discovery (selanjutnya disingkat PTD) dibatasi jumlahnya baik jumlahnya maupun mahasiswanya.
Sedangkan PTÂ Assembling, (selanjutnya disingkat PTA) karena tidak membutuhkan kemampuan setinggi PTD, namun kebutuhannya banyak, dibuka kesempatannya seluas-luasnya. Jika dianalogikan dengan profesi koki dan keahlian memasak, PTD fokus membuat resep baru.
Kokinya tidak perlu terampil, yang penting resepnya baru. Sedang PTA fokus melatih sebanyak-banyaknya koki terampil. Resep masakannya tidak perlu baru, yang penting kokinya bisa memasak dengan terampil. Terampil di sini berarti memasakdengan cepat, dan juga enak. Dunia saat ini tidak perlu tambahan banyak resep masakan baru, namun perlu banyak tambahan koki terampil..
Di Indonesia PTD yang dimaksud Prof. Sudaryono mirip dengan program studi yang ada pada universitas pada umumnya dan PTA mirip dengan Perguruan Tinggi Vokasi (PTV), baik yang diselenggarakan oleh universitas maupun oleh politeknik.Â
Model PT dengan 2 jalur ini sesungguhnya sudah lama diterapkan di negara lain. Sebagai contoh di Jerman, ada 2 jenis pendidikan tinggi; Universitt (university) dan Fachhochschulen (Universities of Applied Sciences). University adalah PT discovery, dan Universities of Applied Sciences adalah PTV. Hal yang sama juga terjadi di negara Austria dan Swis.
Masih menilik definisi Prof Sudaryono, ada 2 kata kunci dari PTA ini; "tenaga ahli (perakit)" dan "dibutuhkan oleh industri". Kombinasi dua kata kunci ini pastilah sangat diidam-idamkan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder). Kalangan industri senang karena kebutuhannya akan tenaga ahli terpenuhi.Â
Mahasiswa dan orang tua (juga calon mertua) juga ikut senang, karena jika kemampuannya dibutuhkan oleh industri, kesempatan kerjanya pasti terbuka lebar. Pemerintah juga ikut senang, karena kemungkinan lulusan PTA ini menganggur sangat kecil. Sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) nasional akan meningkat pula.
Jika PTA ini terwujud dengan baik, tidak perlu Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan industri dengan sumber daya manusia yang tersedia sebagaimana dikutip https://katadata.co.id 20 April 2017 yang lalu.Â
Dan tidak perlu Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri menyatakan, Indonesia kekurangan 57 juta tenaga kerja terampil hingga 2030 sebagaimana dikutip https://www.liputan6.com 28 Juni yang lalu. Tidak perlu pula Wakil Ketua DPR Fadli Zon Menggulirkan Hak Angket Perpres Tenaga Kerja Asing (https://nasional.tempo.co, 26 April 2018).
Namun bagaimana dengan respons Dunia Perguruan Tinggi (PT)? Walaupun sudah digaungkan sejak lama, agaknya PT sebagai pelaksana dan Kemenristekdikti sebagai regulator masih gamang dengan tuntutan dari banyak pihak untuk mengambil peran sebagai produsen tenaga kerja terampil ini. Hal ini terbukti dari tidak adanya kriteria penilaian keterserapan lulusan ke dunia kerja. Yang ada adalah kriteria penilaian SDM, Kelembagaan, Penelitian dan Kemahasiswaan.