Sejarah penindasan terhadap umat Islam sebagian besar dipengaruhi oleh warisan kolonialisme yang terus meninggalkan jejak dalam politik, ekonomi, dan sosial negara-negara Muslim. Selama masa kolonial, banyak negara Muslim dijajah oleh kekuatan Eropa yang memecah-belah wilayah, menciptakan ketidakstabilan, dan mengeksploitasi sumber daya alam mereka. Setelah era dekolonisasi, negara-negara Muslim banyak yang mewarisi sistem politik yang lemah, yang sering kali membuat mereka menjadi sasaran intervensi eksternal dan penindasan internal.
Kolonialisme juga meninggalkan garis-garis batas yang tidak sesuai dengan realitas etnis dan agama, yang mengakibatkan konflik di negara-negara dengan populasi Muslim. Di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia, peninggalan ini masih terasa dalam bentuk ketidakstabilan politik dan kekerasan, yang sering kali mempengaruhi komunitas Muslim. Negara-negara bekas koloni juga sering kali terjebak dalam ketergantungan ekonomi pada kekuatan Barat atau China, yang pada akhirnya memperkuat kontrol luar terhadap kebijakan domestik mereka.
Penindasan terhadap umat Islam bukanlah fenomena baru. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, intensitas dan cakupannya telah meningkat secara signifikan. Sejumlah peristiwa global, seperti serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam, telah memberikan dampak negatif terhadap citra umat Islam di mata publik. Kejadian-kejadian ini sering kali memicu reaksi berlebihan dari pemerintah dan masyarakat, yang menghasilkan kebijakan diskriminatif dan tindakan represif terhadap komunitas Muslim.
Umat Islam di era modern terus menjadi korban berbagai bentuk penindasan, diskriminasi, dan marginalisasi yang dipengaruhi oleh banyak faktor geopolitik, sosial, dan ekonomi. Dari konflik di Timur Tengah hingga represi di negara-negara non-Muslim, umat Muslim sering terjebak dalam dinamika global yang merugikan mereka. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kasus Muslim Uyghur di Xinjiang, China, yang menghadapi represi sistematis dari pemerintah China. Tulisan ini akan mengeksplorasi mengapa umat Islam terus menjadi korban di berbagai wilayah dunia dengan fokus pada isu Uyghur, serta menelaah faktor-faktor utama yang berkontribusi pada penindasan ini.
Pasca serangan teroris 9/11, Islam dan umat Muslim menjadi sasaran prasangka global yang mengaitkan Islam dengan kekerasan dan terorisme. Islamofobia, terutama di negara-negara Barat, meningkat drastis. Umat Islam di Amerika Serikat, Eropa, dan bahkan di beberapa bagian Asia menjadi korban diskriminasi, pengawasan yang berlebihan, dan kebijakan imigrasi yang lebih ketat. Narasi tentang Islam sebagai ancaman global diperkuat oleh media dan beberapa pemerintah, yang mendorong kebijakan represif terhadap komunitas Muslim.
Stigmatisasi ini tidak hanya terbatas di Barat, tetapi juga di negara-negara dengan mayoritas non-Muslim. Di China, Muslim Uyghur dianggap sebagai ancaman keamanan karena hubungan yang diklaim dengan gerakan separatis dan terorisme. Pemerintah China menggunakan narasi global tentang perang melawan terorisme untuk membenarkan penindasan mereka terhadap Uyghur, mengklaim bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk memerangi ekstremisme dan menjaga stabilitas nasional.
Penindasan Muslim Uyghur di Xinjiang, China
Salah satu contoh paling jelas dari penindasan umat Islam di era modern adalah nasib Muslim Uyghur di Xinjiang, China. Uyghur adalah kelompok etnis yang mayoritas beragama Islam dan tinggal di wilayah otonom Xinjiang, yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas. Namun, pemerintah China menganggap Xinjiang sebagai wilayah yang rawan separatisme dan ekstremisme. Dalam beberapa dekade terakhir, tindakan keras terhadap Uyghur semakin intensif. Pemerintah China telah menahan lebih dari satu juta Uyghur di kamp-kamp interniran yang disebut "pusat pendidikan ulang" dengan dalih memerangi ekstremisme. Di kamp-kamp ini, Uyghur dipaksa untuk melepaskan identitas agama dan budaya mereka, serta menjalani indoktrinasi politik yang intensif. Selain itu, ada laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk penyiksaan, kerja paksa, sterilisasi paksa, dan kekerasan seksual.
Kebijakan represif ini tidak terbatas pada kamp-kamp saja. Di seluruh Xinjiang, Muslim Uyghur menghadapi pengawasan ketat melalui teknologi canggih seperti pengenalan wajah dan pemantauan digital. Masjid-masjid dihancurkan, praktik keagamaan dibatasi, dan budaya Uyghur perlahan-lahan dihapus melalui program asimilasi yang agresif. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menghapus identitas keagamaan dan etnis Uyghur serta menggantinya dengan identitas nasional Tiongkok yang didominasi oleh etnis Han.
Penindasan terhadap umat Islam di era modern tidak dapat dipisahkan dari dinamika global yang kompleks, termasuk pertarungan kekuasaan antara negara-negara besar, kontrol atas sumber daya alam, dan persaingan ideologis. Dalam kasus Uyghur, kepentingan geopolitik China di Xinjiang, ketakutan terhadap separatisme, dan narasi global tentang ekstremisme semuanya berkontribusi pada situasi di mana Muslim Uyghur menjadi korban. Namun, kasus Uyghur hanyalah salah satu dari banyak contoh bagaimana umat Islam di berbagai negara menghadapi penindasan. Dari Palestina hingga Rohingya di Myanmar, umat Islam terus menjadi sasaran kebijakan represif yang sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi, politik, atau agama.
Untuk mengatasi penindasan ini, diperlukan upaya global yang lebih kuat untuk melindungi hak asasi umat Islam. Komunitas internasional, termasuk negara-negara Muslim, harus bersatu dalam menentang segala bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap umat Islam, serta menuntut keadilan bagi mereka yang menjadi korban. Selain itu, organisasi-organisasi Muslim perlu lebih proaktif dalam memperjuangkan hak-hak umat Islam di forum-forum internasional dan memastikan bahwa kepentingan ekonomi tidak menghalangi upaya untuk menegakkan keadilan.