“Kita bersaudara..., semua petugas kesehatan bersaudara, ” katanya.
Ngobrol santai dengan Kadinkes ini berlangsung sore hari di rumah pribadinya yang sederhana. Tak ada lagi kantor Dinas Kesehatan baginya, setidaknya untuk saat ini. Kantornya telah lebur dihancurkan massa beberapa waktu lewat. Apa sebab? Entahlah... saya sedang tak ingin ikut berpolemik saat ini.
Dari 29 Puskesmas yang ada, secara keseluruhan dikepalai oleh perawat lulusan SPK.
Di wilayah kabupaten ini secara keseluruhan ada 35 tenaga bidan, yang setengahnya (18 bidan) terdistribusi di 29 puskesmas, dan sisanya ada di rumah sakit.
Dengan uraian kekuatan tenaga kesehatan yang tersedia tersebut, tentu saja banyak puskesmas yang tidak tersedia tenaga dokter, dan bahkan meski juga hanya untuk sekedar tenaga bidan. Menurut Kadinkes ada beberapa puskesmas yang hanya ada kepala puskesmasnya saja, itupun hanya mantri lulusan SPK.
Ada satu Rumah Sakit di kabupaten ini, yang baru beralih fungsi dari ‘Puskesmas Perawatan Plus Oksibil’ sekitar bulan Maret 2011. Rumah Sakit type apa? Belum! Rumah sakit ini sama sekali belum pernah dan belum layak dilakukan akreditasi. Masih diperlukan perbaikan di sana-sini untuk menjadikannya layak untuk sekedar dilakukan akreditasi.
Palang Merah Indonesia dan atau sekedar bank darah pun juga tidak tersedia di kabupaten ini.
Dengan keseluruhan yang serba minimal, bukan berarti pemerintah setempat diam saja. Dalam catatan ada beberapa upaya kreatif untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Tak kurang Bidan Christina Kasipmabin, Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak, menyebutkan pernah ada upaya pendirian rumah singgah di Kota Oksibil. Bidan lulusan P2B ini (lulusan SPK plus pendidikan bidan 1 tahun) menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 sempat didirikan rumah singgah dalam bentuk honai (rumah khas adat tanah Papua) untuk menampung ibu hamil dari luar Oksibil yang diwilayahnya tidak tersedia tenaga kesehatan. Tapi sayangnya saat ini ibu hamil menjadi tidak tertarik memanfaatkan fasilitas ini.