Yaaah... bisa dibilang seluruh mbak-mbak itu berasal dari Pulau Jawa. Kata-kata mereka begitu halus saat kita pun menyapanya dengan sopan.
“Nyuwun sewu mbaak, permisi numpang lewaaat...”
“Oooo... tiyang Jawi tooo? Monggo maaas...”
Sekilas percakapan saat melintas dari dermaga di sebelah rumah tinggal mereka. Dari jendela terlihat poster ‘walisongo’ terpampang di sudut kamar mbak-mbak itu. Isyarat apa lagi yang saya bisa maknai selain kerinduan mereka untuk kembali dalam kehidupan normal?
Saat ini menurut rekan pejabat dari Dinas Kesehatan sudah terdeteksi 6 orang mbak-mbak di wilayah itu yang mengidap HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin setiap tiga bulan sekali dilakukan oleh petugas P2 (Pemberantasan Penyakit) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, yang menurut cerita beberapa rekan mereka melakukan pemeriksaan sekaligus pemakai gratis mbak-mbak itu. Saya berusaha untuk tidak kaget dan memasang ekspresi datar saja mendengarnya. Terdiam. Membatu.
***
Bagaimana seharusnya mengantisipasi culture shock sebagai dampak dari industrialisai? Bagaimana berpikir tentang pemerataan pelayanan kesehatan (equity), bila pelayanan saja tidak tersedia? Bagaimana berkoar tentang jaminan kesehatan semesta (universal coverage), bila lagi-lagi pelayanan kesehatan dasar saja tidak ada wujudnya? Tentu saja penyerapan dana hanya akan terserap di wilayah-wilayah yang pelayanan kesehatannya sudah tersedia, dan pada akhirnya akan lebih memperparah ketidakadilan yang sudah subur.
Saya salah satu pendukung gagasan universal coverage, jaminan kesehatan untuk semua orang, tapi...
“saat ini beta su pi dari tanah Aru, tapi kenangan seng hilang dari ingatan. Suatu saat beta akan datang lai... akan datang lai...“
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H