Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Perjalanan Benjina; Sisi Lain Kepulauan Aru

3 Juni 2016   13:30 Diperbarui: 3 Juni 2016   13:34 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wilayah Trans Maijuring; Dokumentasi peneliti

Kedua. Memperbanyak frekuensi jadwal puskesmas terapung keliling. Langkah ini cenderung praktis dengan melihat ketersediaan sumber daya yang ada. Hanya diperlukan penambahan biaya operasional sewa longboat yang cukup besar sesuai dengan frekuensi yang diharapkan.

Ketiga. Pengadaan speedboat sebagai kendaraan operasional. Langkah ini harus disertai pula dengan pengadaan tenaga teknis awak boat untuk menjamin operasionalisasi puskesmas terapung keliling. Pada opsi kebijakan ini secara jangka panjang lebih mengirit biaya operasional daripada opsi sewa longboat.

 

DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN DI BENJINA

Pada awalnya Benjina merupakan salah satu wilayah sasaran transmigrasi di Kepulauan Aru. Transmigran di sini dengan kekhususan pada dua jenis mata pencaharian, yaitu nelayan dan petani. Nelayan berlokasi di pinggiran pantai, sedang transmigran petani berada jauh lebih ke dalam pulau. Pada salah satu dusun transmigran petani yang sempat saya kunjungi, berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari bibir pantai, dengan jalan kaki menyusuri jalan setapak yang disemen dengan kondisi berlubang di sana-sini.

Kapal Penangkap Ikan Sandar di Pelabuhan Pabrik Ikan; Dokumentasi Peneliti
Kapal Penangkap Ikan Sandar di Pelabuhan Pabrik Ikan; Dokumentasi Peneliti
Dahulu, di wilayah ini, di seberang Desa Benjina, di Pulau Maekor, berdiri beberapa perusahaan perikanan yang pada saat jaya-jayanya menyerap pekerja sekitar 8.000 orang lebih yang ditempatkan di mess-mess perusahaan. Pada saat-saat tersebut para transmigran juga turut berjaya dengan menjadi supplier hasil bumi untuk kebutuhan konsumsi para karyawan, serta supplier hasil perikanan sebagai core bussinessperusahaan tersebut.

Perusahaan-perusahaan yang dimodali asing ini banyak mendatangkan pekerja penangkap ikan beserta kapal-kapalnya dari Thailand. Kondisi ini menjadikan kondisi ekonomi pada saat itu menjadi sangat bergairah, dan memacu berduyun-duyunnya pendatang dari luar wilayah, termasuk di dalamnya para mbak-mbak yang menjadi penghibur pelepas lelah nelayan-nelayan Thailand yang telah bekerja seharian.

Tak cukup sampai di sini, para nelayan Thailand tersebut banyak yang pulang pergi di wilayah ini, dengan tenggang waktu yang cukup lama dan sering, sesuai dengan kontraknya pada perusahaan. Maka lahirlah ‘kebutuhan-kebutuhan’ baru. Kultur baru ‘kawin kontrak’ pun mulai bermunculan dan bertumbuh.

Wilayah Trans Maijuring; Dokumentasi peneliti
Wilayah Trans Maijuring; Dokumentasi peneliti
Seiring berjalannya waktu, pasca krisis moneter yang melanda republik ini, perusahaan perikanan ini bangkrut, dan mengurangi pekerjanya secara besar-besaran. Efeknya sungguh membuat miris, para transmigran banyak yang pulang kembali ke daerahnya, karena hasil pertaniannya tidak mampu terserap lagi oleh perusahaan. Para ‘janda’ Thailand pun banyak ditemui di mess-mess sekitar perusahaan yang beralih fungsi menjadi rumah-rumah bedeng dengan kondisi yang jauh dari layak, yang menurut rekan peneliti senior yang bersama saya lebih mirip (ma’af) kandang kambing. Kondisi lebih layak justru ditemui pada tempat tinggal mbak-mbak penghibur, meski juga tidak terlalu jauh berbeda. Bila Menteri Kesehatan yang seorang aktivis penanggulangan HIV/AIDS serta Gender ada di sini, saat ini, tentu akan merasakan hal yang sama dengan yang kami rasakan, betapa perempuan-perempuan kita diperlakukan menjadi lebih mirip (ma’af) tempat sampah di sini.

Saat ini, kamipun masih sering menemui orang Thailand yang tinggal di sini, yang seringkali berjalan sempoyongan, mabuk sopi (minuman keras khas Aru). Dari cerita-cerita penduduk dan teman-teman Puskesmas, banyak orang-orang Thailand yang melarikan diri dan tinggal di hutan, karena kontraknya telah habis, dan mereka tidak mau kembali atau dideportasi ke Thailand.

Dalam hati sempat terlintas tanya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun