Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kepulauan Aru; Hadirkah 'Kesehatan' di Sana?

22 Mei 2016   09:28 Diperbarui: 22 Mei 2016   10:33 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di Peta Indonesia; Sumber: Olahan Peneliti

dear all,

berikut catatan perjalanan seminggu terakhir di Kabupaten Kepulauan Aru.

semoga bisa meninggalkan sesuatu yang berguna... semoga

***

Dobo_Kepulauan Aru, 04 Mei 2012

Siang itu, saat jam 16.30 waktu setempat, di sela teduhnya cuaca sehabis diguyur gerimis, kami mendarat di bandar udara Kota Dobo. Kesan pertama yang tertangkap, ahh... Dobo belumlah layak disebut sebagai kota, meski mereka menyebutnya sebagai ibukota kabupaten ini.

Sambutan belasan tukang ojek merayu kami untuk bersegera meninggalkan bandara yang tak lebih besar dari balai desa di Pulau Jawa. Tak perlu waktu lama menentukan pilihan, tak lebih sepuluh menit kami telah sampai di depan Hotel Suasana Baru, hotel yang menurut kami lebih layak disebut losmen. Tak apalah... toh penginapan ini adalah salah satu yang terbaik yang dimiliki kota ini.

Sepuluh menit dari bandara ke hotel?

Yak! Bukan karena jarak bandara ke hotel yang terlalu dekat, tetapi memang keseluruhan Kota Dobo bila diubek-ubek dari ujung ke ujung memerlukan waktu yang tak lebih dari satu jam saja.

Cukup besar bukan?

Saya bertandang di kabupaten ini ditemani mas Setia Pranata, seorang anthropolog, peneliti senior di tempat saya bekerja. Sedianya kami sedang dalam persiapan daerah penelitian untuk melaksanakan tugas dari kantor, melakukan evaluasi terkait Jaminan Persalinan (Jampersal).

Seperti judul tulisan yang saya pilih di atas, Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu kabupaten ‘Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan’ (DTPK) yang juga merupakan kabupaten yang tergolong sebagai kabupaten ‘Daerah Bermasalah Kesehatan’ (DBK).

Untuk yang belum paham DTPK dan DBK silahkan baca tulisan pada catatan-catatan sebelumnya.

Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten dari propinsi seribu pulau, Propinsi Maluku. Meski sebenarnya di Kabupaten Kepulauan Aru saja jumlah pulaunya sudah mencapai 547 pulau dengan 458 diantaranya yang tidak berpenghuni. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 3 pulau besar (Pulau Wokam, Kobror dan Trangan), dan 8 pulau lain yang merupakan pulau kecil terluar, antara lain Arapula (tidak berpenghuni); Karawaiala (tidak berpenghuni); Panambulai (berpenghuni); Kultubai Utara (tidak berpenghuni); Kultubai selatan (tidak berpenghuni); Karang (tidak berpenghuni); Enu (tidak berpenghuni) ; dan Batu goyang (berpenghuni).

Secara geografis, di sebelah Selatan Kabupaten Kepulauan Aru adalah Laut Arafura, di sebelah Utara dan Timur berbatasan laut dengan bagian Selatan Papua Barat, sedang bagian timur berbatasan laut dengan bagian Timur Pulau Pulau Kei Besar (Kabupaten Maluku Tenggara) dan Laut Arafura.

Dalam catatan harum kepahlawanan, Laksamana Laut Yos Sudarso gugur di perairan Laut Arafura saat menolak dievakuasi pihak Belanda ketika kapal yang dikomandaninya dibom dan ditenggelamkan di laut ini.

Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh) kecamatan dengan jumlah puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi lebih dikarenakan terlalu banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja dinas kesehatan di sana.

Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga bisa dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana Air, setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air) menarik diri dari jalur tersebut.

Perkampungan Nelayan di Dobo, Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perkampungan Nelayan di Dobo, Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Aru dari Kota Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota yang sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan jarak tempuh Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan tersebut kita tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung di lautan.

Bila kita membayangkan mencapai kabupaten kepulauan ini sulit, maka sesungguhnya mencapai wilayah kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur laut adalah jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat tergantung dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat. Iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang ekstrim.

Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru sudah cukup baik untuk golongan DTPK. Sudah ada jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel sebagai satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah hadir dengan sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya jaringan GSM.

Setidaknya saya masih bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.

 

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Pengakuan dari Kamelia Assagaf (pengelola Jampersal Kabupaten Kepulauan Aru) cukup mengejutkan, bahwa dari 21 (dua puluh satu) puskesmas yang ada di Kabupaten Kepulauan Aru pada akhir tahun 2011, sampai pada saat tulisan ini dibuat hanya 11 (sebelas) puskesmas yang memiliki tenaga bidan di wilayahnya, itupun tidak merata di seluruh desa. Di wilayah Puskesmas Marlasi misalnya, dengan 16 (enam belas) desa yang menjadi wilayah kerjanya, hanya tersedia 3 (tiga) tenaga bidan. Entah bagaimana mereka membagi beban kerjanya?

Pengakuan inipun setidaknya diamini Haryati Kubangun selaku Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru.

Sedang 10 (sepuluh) puskesmas lainnya yang tidak memiliki bidan sama sekali di wilayah kerjanya, terdiri atas Puskesmas Kaben, Puskesmas Wakua, Puskesmas Kobadangar, Puskesmas Koijabi, Puskesmas Longgar Apara, Puskesmas Mesiang, Puskesmas Panambulai, Puskesmas Doka Barat, Puskesmas Ngaibor, dan Puskesmas yang terletak di wilayah paling selatan Kabupaten Kepulauan Aru, Puskesmas Batu Goyang. Prihatin sekali membayangkan berapa desa yang kosong tanpa ada tenaga kebidanan sama sekali.

Kekosongan bidan ini bukan tidak disadari oleh Dinas Kesehatan sebagai masalah yang harus segera diselesaikan, untuk itu Dinas Kesehatan membuat usulan pengangkatan semua lulusan Akademi Kebidanan setempat sejumlah 21 bidan pada tahun 2012 ini. Semua usulan pengangkatan adalah sebagai tenaga bidan PTT dengan usulan pembiayaan dari pusat. Usulan pembiayaan tenaga bidan PTT dengan pembiayaan dari daerah sepertinya gamang dilakukan. Dengan anggaran bidang kesehatan yang hanya 5,68% dari total APBD sebesar Rp. 521.397.899.791,- dirasa tidak cukup untuk membiayai keperluan tersebut, meski APBN juga telah andil sebesar Rp. 7.283.177.000,- untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten Kepulauan Aru ini.

Lulusan bidan tahun 2012 ini merupakan lulusan reguler pertama Akademi Kebidanan satu-satunya di Kabupaten Kepulauan Aru. Tahun 2011 sebelumnya, Akademi Kebidanan ini sempat meluluskan 16 tenaga bidan, yang merupakan tugas belajar dari PNS Dinas Kesehatan dari sekolah kebidanan yang lebih rendah.

Berdasarkan data profil kesehatan Kabupeten Kepulauan Aru, jumlah ibu hamil pada tahun 2009 mencapai 2.004 ibu dan menurun sedikit pada tahun 2010 mencapai angka 1.989 ibu hamil.

Pada tahun 2010 jumlah ibu hamil yang memeriksakan diri saat kehamilan mencapai K1=1.596 ibu (80,2%) dan K4=1.195 (60,1%). Dari sejumlah kehamilan pada tahun 2010, 52,8%nya (1.013) ditolong oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan. Capaian ini masih jauh dari target SPM provinsi sebesar 90% dan target SPM nasional sebesar 95%.

Tidak jauh berbeda dengan data pelaporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di atas, data survey berbasis komunitas justru menunjukkan angka cakupan yang sedikit lebih baik. Berdasarkan data Riskesdas 2007 cakupan ibu yang memeriksakan kehamilan di Kabupaten Kepulauan Aru mencapai sebesar 83,3%. Sedang yang melakukan pemeriksaan neonatus mencapai 33,3% untuk KN-1 (0-7 hari) dan 42,9% (8-28 hari) pada KN-2.

 

PELAYANAN JAMPERSAL

Berbeda dengan laporan capaian cakupan pelayanan kesehatan ibu, laporan cakupan pelayanan penggunaan Jampersal menunjukkan angka yang sangat rendah.

Sejatinya, pelayanan Jaminan Persalinan (Jampersal) mulai masuk dan ada klaim untuk jasa pelayanan di Kabupaten Kepulauan Aru pada bulan Agustus 2011. Tetapi pencapaian pelayanannya relatif sangat sedikit dan tidak menunjukkan pola kecenderungan seperti daerah ‘normal’ lainnya. Entah dikarenakan sosialisasi yang kurang intensif, atau karena kondisi geografis kepulauan yang sangat ekstrim, atau karena ketersediaan tenaga bidan yang minim, atau bahkan kolaborasi dari kesemua faktor tersebut.

Data yang tersaji dalam grafik berikut memberi gambaran pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal pada tahun 2011. Grafik tersebut merupakan hasil rekapitulasi penulis atas klaim bulanan yang tercatat di pengelola Jampersal Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2011.

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru
Pola yang ditunjukkan antara jumlah cakupan K-1, K-4, persalinan, KF-1, KF-2,dan KF-3 naik turun menunjukkan tidak adanya ‘continum of care’ pada pelayanan kesehatan ibu dan anak. Setiap pelayanan seakan berdiri sendiri-sendiri, tidak ada kesinambungan. Hal ini diakui oleh bidan, yang menurut mereka juga karena memang klaim Jampersal bukan sebagai paket utuh, tetapi parsial per pelayanan.

Lalu bagaimana dengan klaim untuk transport rujukan?

Nol besar! Bukan karena tenaga bidan di desa-desa kepulauan tersebut terlalu pintar, tapi lebih dikarenakan ekstrimnya transportasi yang harus ditempuh bila merujuk, yang bisa-bisa lebih memperparah kondisi si ibu.

Akhirnya... tak sampai hati juga rasanya menunjukkan apa yang ‘seharusnya‘, dan menuntut mereka melakukannya.

Butuh lebih dari sekedar rasa prihatin untuk membuat pelayanan kesehatan menjadi ‘ADA’!

-ADL-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun