Hingar-bingar Jaminan Kesehatan Nasional pada akhir-akhir ini seakan menjadi satu-satunya hal tentang kesehatan yang memerlukan tumpuan perhatian dari semua komponen masyarakat, khususnya para pemerhati bidang kesehatan. Program asuransi sosial yang oleh masyarakat lebih popular disebut sebagai BPJS (akronim dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ini menyita terlalu banyak perhatian dan sumber daya, yang seharusnya juga tetap dialokasikan untuk masalah lain yang cukup urgen. Kementerian Kesehatan yang mengaku lebih mengedepankan paradigma preventif-promotif pun turut larut terlalu dalam dengan euphoria JKN yang notabene penuh dengan nuansa kuratif.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir yang dilaksanakan pada tahun 2013 seakan berlalu begitu saja tanpa dilirik sama sekali. Meski sebenarnya hasilnya sarat dengan isi yang seharusnya membuat kita waspada.
Salah satu hasil Riskesdas yang seharusnya membuat kita sebagai sebuah bangsa miris adalah proporsi angka balita pendek dan sangat pendek (stunting) yang mencapai angka pada kisaran 37,2%. Presentase balita pendek dan sangat pendek ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survei Riskesdas pada tahun 2010 yang mencapai 35,6%. Angka cukup besar yang bisa membuat kita menjadi bangsa liliput! Miris…
Topik ini sudah pernah diangkat penulis berdasarkan data Riskesdas tahun 2007. Tetapi 7 tahun telah terlewat, dan angka stunting tetap saja tinggi, maka penulis mengangkatnya kembali agar menjadi perhatian!
Indikator pendek dan sangat pendek pada balita dihitung berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U). indikator ini menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Pada survei Riskesdas batasan yang dipakai adalah untuk ‘sangat pendek’ Zscore kurang dari -3,0, ‘pendek’ Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore  < -2,0, dan untuk kategori ‘normal’ Zscore ≤ -2,0.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Hasil survei Riskesdas menunjukkan bahwa 20 dari 33 provinsi di Indonesia mempunyai angka persentase di atas rata-rata angka nasional, dan persentase tertinggi ada di provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 51,7%. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2010), masalah kesehatan masyarakat dianggap ‘berat’ bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan ‘serius’ bila prevalensi pendek ≥40 persen. Masih menganggap ini bukan masalah serius???
Bila fakta ini masih belum cukup, masih ada beberapa catatan lain. Hasil Riskesdas juga mencatat bahwa rata-rata tinggi badan anak umur 5 sampai 18 tahun ada selisih 12,5 sentimeter pada anak laki-laki, dan 9,8 sentimeter pada anak perempuan. Indikator ini dinilai berdasarkan rujukan dari WHO (2007).
Udah Pendek, Tambun Pula!
Upaya untuk menyelesaikan masalah stunting pada balita cukup merepotkan, pemberian makanan tambahan tidak membuat balita bertambah tinggi pada usia selanjutnya, tetapi bertambah me’lebar’, atau bertambah gemuk. Tambun. Benar-benar mengarah pada liliput!
Riskesdas mencatat terjadi peningkatan obesitas (kegemukan) yang meningkat cukup tajam pada umur 18 tahun ke atas. Untuk laki-laki meningkat dari 13,9% Â pada tahun 2007, menjadi 19,7% pada tahun 2013. Sedang pada perempuan lebih tajam lagi, dari 14,8% pada tahun 2007, menjadi 32,9% pada tahun 2013.
Fakta ke’tambun’an ini masih ditambah lagi dengan terjadinya peningkatan obesitas sentral (lingkar perut) dari 18,8% pada tahun 2007, menjadi 26,6% pada tahun 2013. Prevalensi terbesar justru ada di ibu kota DKI Jakarta, sebesar 39,7% pada tahun 2013 dari seluruh penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Â
Bagaimana Mengatasinya?
Seperti diuraikan sebelumnya, untuk mengatasi masalah stunting tidak bisa hanya diselesaikan dengan memberikan makanan tambahan pada balita, karena justru memancing timbulnya masalah lain, obesitas.
Upaya paling rasional adalah pencegahan. Mencegah supaya generasi berikutnya tidak menjadi stunting. Upaya ini tidak bisa dibebankan hanya kepada Kementerian Kesehatan saja, karena penyebab sesungguhnya adalah kemiskinan, yang menyebabkan ketersediaan pangan dalam keluarga menjadi berkurang. Untuk itu penyelesaian masalah dengan pendekatan multisektoral menjadi mutlak dilakukan. Kementerian yang membidangi pendidikan, pertanian, ekonomi, sarana-prasarana dan kesehatan harus duduk bersama-sama untuk menyelesaikan hal ini.
Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menyerahkan dan menggantungkan hal ini hanya pada pemerintah. Kita perlu secara bersama-sama sebagai bangsa menanggulangi masalah ini. Yang bisa kita lakukan jauh lebih awal lagi, mempersiapkan para remaja putri yang akan menjadi ibu bagi generasi mendatang. Setidaknya ada 3 hal yang bisa kita lakukan, pertama nikahkanlah anak perempuan kita setelah cukup umur, idealnya setelah 21 tahun; kedua, persiapkan status gizi anak perempuan kita sebelum hamil, minimal dengan lingkar lengan atas di atas 23,5 sentimeter; ketiga, persiapkan pengetahuan anak perempuan kita tentang pentingnya kecukupan zat gizi pada saat hamil.Â
Sekali lagi, kita perlu secara bersama-sama harus peduli dengan masalah ini. Miris sekali… generasi penerus bangsa ini terancam menjadi bangsa liliput! Liliput yang meladeni dan menghibur bangsa lain sebagai putri saljunya. Liliput dalam dongeng snow white mungkin lucu, sangat lucu bahkan! Tapi kalau generasi bangsa kita yang jadi liliput??? Saya nggak ikhlas… sama sekali nggak ikhlas! Lahir bathin! Dunia akhirat!!! (ADL)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H