Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga Kecil Raijua: Sebuah Catatan Perjalanan

9 Mei 2016   13:54 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:50 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 14. Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 14. Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 14. Rumah Daun dan Kawanan Kuda di Sabana; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kami bergegas menuju mercusuar yang banyak sekali anak tangganya telah rusak. Sepertinya memang bukan saatnya keberuntungan bagi saya untuk bisa menaikinya, body montok ini terlalu berat untuk ditanggung anak-anak tangga tak bersalah itu. Saya cukup puas memandanginya dari bawah saja.

Gambar 15. Mercusuar Halla Wuimahi; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 15. Mercusuar Halla Wuimahi; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak jauh dari mercusuar itu nampak beberapa “kotak-kotak” kecil yang sengaja dibuat untuk membuat garam. Penduduk memikul air laut yang dimasukkan dalam kotak-kotak tersebut, dan membiarkannya menguap untuk mendapatkan kristal putih garam yang tertinggal.

Gambar 16. Kotak untuk Mendapatkan Garam; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 16. Kotak untuk Mendapatkan Garam; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di sisi luar mercusuar, belukar perdu dan bakau nampak menghijau di sela-sela karang pantai yang sungguh tajam. Terpeleset sedikit saja, dapat dipastikan lecet-lecet plus bonus celana sobek. Tapi upaya kami menyusuri barisan bebatuan karang bukanlah upaya yang sia-sia. Gagahnya sang bagaskara yang hendak kembali ke peraduan sungguh selalu membuat saya berdecak kagum.

Gambar 17. Sunset di Pantai Halla Wuimahi; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 17. Sunset di Pantai Halla Wuimahi; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Hari sudah hampir malam saat kami harus bergegas untuk menangkap moment lainnya, Pasar Padalabba. Pasar Padalabba merupakan satu-satunya pasar di Desa Kolorae. Pasar Padalabba sengaja digelar pada malam hari, antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 08.00. “Yaa… karena kalo pagi masyarakat harus ke pantai dulu pak… bekerja di laut,” jelas Pak Desa saat saya bertanya tentang hal tersebut. Hari pasaran bagi Desa Kolorai adalah setiap Kamis, seminggu sekali. 

Gambar 18. Pasar Padalabba di Desa Kolorae; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 18. Pasar Padalabba di Desa Kolorae; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Beragam barang diperjualbelikan di pasar tradisional ini, kebanyakan adalah barang kelontong produksi pabrik. Sangat sedikit sekali barang yang dijual merupakan produk lokal, hanya beberapa kue, ayam dan beberapa kelengkapan untuk menginang.

Malam semakin larut. Kami harus segera kembali. Menyusuri kembali jalanan berbatu, untuk bersegera bersih-bersih tubuh sebelum kembali ke peraduan dengan membawa mimpi indah tentang surga kecil hari ini.

***

            Ahh… akhirnya saya harus pulang juga. Mempersiapkan diri untuk destinasi lainnya Senin depan. Semoga bisa memanjakan diri dengan surga kecil lainnya. Beta pulang dulu Kolorae. Beta sonde tau apakah bisa kembali lai? tapi beta pung memori sonde pernah lupa dengan surga kecilmu.

 

 

(ADL)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun