Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga Kecil Raijua: Sebuah Catatan Perjalanan

9 Mei 2016   13:54 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:50 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 12. Barisan Kawanan Kambing; Sumber: Dokumentasi peneliti

Setelah dua jam perjalanan, kapal tiba di dermaga Raijua, dan saya agak terbengong, karena dermaga jauh lebih tinggi dari permukaan kapal, ada selisih sekitar 1,5 meter. Bukannya apa-apa, saya sedikit trauma dengan pola "transfer" model begini, pengalaman di dermaga Waisai-Raja Ampat memberkaskan memori kurang menyenangkan dengan kondisi tubuh saya yang montok ini. Ternyata ada tangga kecil yang bisa dinaiki untuk ke permukaan dermaga. Syukurlah… Tuhan sungguh Maha Baik.

Gambar 4. Proses “Transfer” di Dermaga Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 4. Proses “Transfer” di Dermaga Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ke-Maha Baik-an-Nya kembali ditunjukkan saat saya disapa dua orang yang ternyata adalah petugas gizi dan dokter gigi dari Puskesmas Ledeunu, satu-satunya Puskesmas yang adadi Pulau Raijua yang bertanggung jawab pada kesehatan masyarakat di wilayah ini. Saya diajak bareng dengan mobil ambulan untuk menuju Desa Kolorae, dimana dua rekan peneliti sedang grounded disana.

Belum selesai percakapan ada seorang sopir truk yang datang dan mengajak untuk bersama menumpang dengan dia, karena kebetulan arah tujuannya membawa barang dari kapal dan melewati Desa Kolorae. Akhirnya orang Puskesmas dan Simon berunding, dan memutuskan saya akan bersama Simon menuju desa. Simon sang sopir truk yang sekaligus juga pemilik truk tersebut. Sungguh Tuhan Maha Baik, sungguh saya tak tahu nikmat Tuhan mana lagi yang bisa saya dustakan?

Truk berjalan menyusuri jalanan keras berbatu, yang terkadang penuh pasir, menyisir jalanan pantai dengan pemandangan yang cukup menghibur. Terlihat beberapa rumah tradisional yang beratapkan daun lontar dengan pagar batu yang ditumpuk bersusun mengelilingi rumah sebagai pagar.

Gambar 5. Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 5. Rumah Tradisional Suku Sabu di Pulau Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Rumah tradisional model ini masih cukup mendominasi di wilayah ini, meski juga sudah ada yang memodifikasi dan bahkan sudah memilih bentuk rumah modern sebagai tempat tinggalnya. Dinding rumah tradisional yang biasanya terbuat dari pelepah batang lontar yang disusun rapi, beberapa sudah berganti dengan tembok.

Gambar 6. Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu di Pulau Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 6. Rumah Daun Modifikasi (kiri) dan Rumah Modern (kanan) Suku Sabu di Pulau Raijua; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ada dua jenis rumah tradisional bagi suku Sabu di Pulau Raijua, yaitu rumah adat dan rumah daun. Kalau kita tidak memperhatikan dengan seksama, maka kita akan sulit untuk membedakannya, karena bahan dan bentuknya yang sama. Secara fisik rumah adat mempunyai bentuk atap yang menyerupai “konde”, sedang rumah daun mempunyai bentuk bulat biasa. Selain itu bahan atap yang terbuat dari daun lontar menjuntai sampai ke bawah hingga tidak kelihatan bentuk dindingnya, sedang rumah daun tidak. Secara fungsi rumah daun dipergunakan sebagai tempat tinggal bagi orang Raijua, sedang rumah adat lebih dipergunakan sebagai media upacara dan juga menyimpan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Kita bisa bebas saja bertamu dan memasuki rumah daun, sedang rumah adat sama sekali orang luar tidak diperbolehkan untuk memasukinya, bahkan pada rumah-rumah ada tertentu ada bebatuan di bagian luar yang sama sekali tidak boleh kita injak.

Gambar 7. Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 7. Rumah Adat (Tengah) dan Rumah Daun di Sekelilingnya; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perjalanan menuju Desa Kolorae juga menyuguhkan beberapa kebun aren yang merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk Raijua sejak jaman dahulu. Mereka dikenal sebagai penghasil “gula Sabu”, atau orang Jawa biasa menyebut sebagai gula aren karena dihasilkan dari pohon aren. Meski saat ini menyisakan sedikit saja penduduk yang menekuni pekerjaan tersebut, sejak tahun 2013 beberapa dari mereka sudah beralih untuk melakukan budidaya rumput laut yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua melalui pelatihan-pelatihan budidaya rumput laut.

Pada sisi lain Pulau Raijua kami mendapati hamparan kebun sorgum, salah satu tanaman yang dijadikan orang Raijua untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Tapi kali ini sepertinya mereka akan gagal panen, karena terlihat tanaman yang batangnya mirip batang jagung ini mulai mengering. “Sepertinya memang kami gagal panen kali ini pak, karena air kurang, sonde (tidak) ada hujan… padahal itu sorgum bagus bapa… enak… tak kalah dengan beras pulau…,” keluh Simon di sela-sela tangannya memegang setir mengendalikan truk di jalanan berbatu yang terjal.

Gambar 8. Kebun Sorgum yang Tengah Mengering; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 8. Kebun Sorgum yang Tengah Mengering; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dalam perjalanan Simon juga menunjukkan sebuah embung. Embung adalah istilah setempat untuk cerukan tanah yang sengaja digali untuk menampung air hujan. Pada saat seperti ini air di dalam embung tidak cukup banyak, air cenderung keruh berwarna coklat. Air embung biasa dipergunakan masyarakat untuk mengairi tanaman sertauntuk air minum ternak, meski juga tak menutup hasrat anak-anak untuk terkadang berenang di dalamnya.

Tak sampai 40 menit kami sudah sampai di rumah Pak (Kepala) Desa. Saya menginap di rumah Ama (Bapak) Manona, adik Pak Desa, bersama dua peneliti saya yang telah lebih dulu datang. Malam itu kami bercakap banyak hal dengan tuan rumah, yang kembali menunjukkan pada saya, meneguhkan keyakinan bahwa masih banyak orang baik di republik ini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun