Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surga Kecil Raijua: Sebuah Catatan Perjalanan

9 Mei 2016   13:54 Diperbarui: 17 Mei 2016   08:50 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 16. Kotak untuk Mendapatkan Garam; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan hari ke-dua adalah saatnya untuk menempuh jalur Kupang-Sabu dengan pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air yang berkapasitas penumpang 12 orang, yang hanya berisi 10 penumpang saat saya menaikinya. Lebih berasa seperti naik layang-layang dari pada naik sebuah pesawat, meski menurut saya masih jauh lebih nyaman naik Cessna Caravan ini ketimbang naik Twin Otter saat menuju Kabupaten Belu pada lain kesempatan, meski kedua-duanya disopiri oleh pilot-co pilot bule dari Australia.

Gambar 2. Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2. Pesawat Cessna Grand Caravan Commuter Susi Air di Bandara El Tari yang akan menuju ke Seba, Pulau Sabu; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pesawat landing di Pulau Sabu tepat setelah 50 menit melayang-layang di udara. Bandara tampak tidak terlalu ramai, karena Susi Air adalah satu-satunya maskapai yang mengoperasikan pesawatnya menuju pulau ini.

Bukan kebetulan saya bertemu dengan Sofyan, seorang pedagang yang rumahnya di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Raijua, saya percaya dengan rencana-rencana-Nya, tidak ada yang kebetulan, sungguh masih banyak orang baik di republik ini. Saya diajak nebeng mobil yang menjemput Sofyan, diantar melihat kalau-kalau masih ada kapal yang menuju Raijua, sampai kemudian diantar ke penginapan Makarim, tempat saya bermalam di Seba pada akhirnya.

Seba, ibukota Kabupaten Sabu Raijua, merupakan kota kecil yang tak lebih ramai dari sebuah kota kecamatan di pinggiran Pulau Jawa. Keramaian kota terpusat di satu jalan menjelang dermaga. Sepanjang jalan tersebut, di kiri dan kanan, dipenuhi para pedagang, di sinilah perputaran uang paling banyak terjadi di wilayah kepulauan ini, meski para pedagangnya lebih banyak para pendatang dari luar.

 

HARI KE-TIGA. SAATNYA MENUJU RAIJUA

Ini bukanlah kali pertama saya menuju sebuah pulau kecil di wilayah perifer terluar, tapi tetap saja rasanya berdebar-debar, semacam anak SMA yang sedang menunggu kekasihnya datang, penuh emosi. Ada semacam ekspresi ketakutan dan gairah untuk menaklukkan tantangan. Ahh… saya sungguh merasa sangat keren dalam situasi ini.

Tidak ada jadwal pasti untuk kapal yang menuju ke Pulau Raijua, saya yang diberitahu untuk standby jam 9.00 pagi di dermaga sudah bersiap dengan seluruh barang bawaan jam 8.30, ternyata kapal belum ada,menurut informasi seorang teman dari Raijua, kapal akan datang jam 11.00. “Aaa… sebentar sa, jam 9.00 kapal baru berangkat dari Raijua, akan tiba di Seba sekitar dua jam lagi. Jadi sekitar jam 11.00 yaa…”. Akhirnya saya memilih kembali dulu ke penginapan.

Jam11.00 saya kembali ke dermaga, kapal belum nampak batang hidungnya. Jam 12 cek lagi, ahh… masih saja ternyata. Baru sekitar jam 12.15 akhirnya ada kabar kapal sudah sandar di dermaga. “Kakak… kapal datang sudah, tapi baru akan berangkat nanti sekitar jam 2.00. Kakak tunggu sini sa…,” tukas Sofi, penanggung jawab penginapan Makarim.

Jam13.30 saya sudah berada di atas kapal, hanya ada beberapa penumpang dan barang-barang pesanan dari penduduk Raijua, ada motor, kasur, ayam, seng dan sopi (minuman keras khas penduduk NTTdan Maluku). Tepat jam 14.10 kapal bergerak pelahan, dengan penumpang yang sarat, 37 orang termasuk awak kapalnya, penuh sesak untuk ukuran kapal sekecil ini.

Gambar 3. Kapal Kayu yang Penuh Sesak; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3. Kapal Kayu yang Penuh Sesak; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ombak cukup bersahabat, laut sedang teduh, hanya sedikit bergelombang saat melewati selat antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Bisa dimaklumi bila gelombang ini sedikit lebih besar, karena langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Tapi tetap tidak seberapa, karena saya pernah menaiki kapal kayu sejenis dengan ombak yang jauh lebih memabukkan, mencapai ketinggian empat meter, saat menuju Pulau Telo dari Pulau Nias, nyawa seakan hanya sebuah permainan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun